Jumat, 19 Oktober 2012

#In_Share My Motivation Words

#In_Share My Motivation Words

 ‘& dakwah adalah sebuah  proses, bukan hanya perkara hasil. Ia menyeleksi ahsanul amalah di antara kita. Keberhasilan dakwah sejatinya, terletak pada amal terbaik ketika itu tak henti ditekuni (At-taubah:105), dan  makin semangat ditingkatkan (At-Thagabun:16).
Jadilah yang paling depan menyemangati dan menginspirasi. Tak sekedar diksi, mari menghantarnya pada bukti’

‘Allah selalu menakdirkan yang  terbaik untuk makhluk-Nya. Tinggal sekencang apa ikhtiar kita. Tak ada yang tak sengaja terjadi. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Ia, yang Maha sempurna dengan keteraturan.  Hanya dengan keyakinan, yakin, dan semakin yakinlah  ^_^ ’

‘Ilmu Allah berlimpah, bisa kita dapat  lewat siapapun  ia. Hikmah-Nya tertebar di mana-mana, Lebih mudah menggapainya lewat kesadaran betapa dhoifnya kita. Undzur ma qoola walaa tandzur man qoola,’

‘Jangan menghadiahkan Allah sisa-sisa waktu , karena tak pernah kita mendapat sisa-sisa nikmat Dari-Nya. (Tadabbur Q.S Al-‘Ashr:1-3)’

‘Lewat senyuman itu aku belajar. Raut ikhlas nan meneduhkan. Kuserap ruh semangat ketika kami berjumpa. Aku  makin percaya, dakwah murni cerita cinta. Tentang kita yang tergambar dengan indah lewat warna. Tempat  berbagi, saling mengerti, berlembut hati dan menyemangati.’

‘Bermimpi adalah keberanian. Jika itu mulia, maka setiap proses pencapaiannya adalah catatan pahala yang menjadikan Sang Pemimpi Ksatria. Sebaliknya, andai itu hina, tak ada yang istimewa. Hanya sekedar sia yang berbuah, sekecut mental pengecut.’

‘Jika selalu menjadi yang terdepan dalam  kritisi, berhentilah sejenak. Dan rasakan, jama’ah ini rindu semangat, bukan saling melemahkan. Bukankah  itu yang diajarkan Rasul? Selalu memantik ghiroh sahabat lewat busyro, dengan berita gembira yang membahana. Kita butuh itu untuk tegar meniti jalan ini. Walau tak selamanya bersih dari duri.’

#In_Share My Motivation Words

#In_Share My Motivation Words

 ‘& dakwah adalah sebuah  proses, bukan hanya perkara hasil. Ia menyeleksi ahsanul amalah di antara kita. Keberhasilan dakwah sejatinya, terletak pada amal terbaik ketika itu tak henti ditekuni (At-taubah:105), dan  makin semangat ditingkatkan (At-Thagabun:16).
Jadilah yang paling depan menyemangati dan menginspirasi. Tak sekedar diksi, mari menghantarnya pada bukti’

‘Allah selalu menakdirkan yang  terbaik untuk makhluk-Nya. Tinggal sekencang apa ikhtiar kita. Tak ada yang tak sengaja terjadi. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Ia, yang Maha sempurna dengan keteraturan.  Hanya dengan keyakinan, yakin, dan semakin yakinlah  ^_^ ’

‘Ilmu Allah berlimpah, bisa kita dapat  lewat siapapun  ia. Hikmah-Nya tertebar di mana-mana, Lebih mudah menggapainya lewat kesadaran betapa dhoifnya kita. Undzur ma qoola walaa tandzur man qoola,’

‘Jangan menghadiahkan Allah sisa-sisa waktu , karena tak pernah kita mendapat sisa-sisa nikmat Dari-Nya. (Tadabbur Q.S Al-‘Ashr:1-3)’

‘Lewat senyuman itu aku belajar. Raut ikhlas nan meneduhkan. Kuserap ruh semangat ketika kami berjumpa. Aku  makin percaya, dakwah murni cerita cinta. Tentang kita yang tergambar dengan indah lewat warna. Tempat  berbagi, saling mengerti, berlembut hati dan menyemangati.’

‘Bermimpi adalah keberanian. Jika itu mulia, maka setiap proses pencapaiannya adalah catatan pahala yang menjadikan Sang Pemimpi Ksatria. Sebaliknya, andai itu hina, tak ada yang istimewa. Hanya sekedar sia yang berbuah, sekecut mental pengecut.’

‘Jika selalu menjadi yang terdepan dalam  kritisi, berhentilah sejenak. Dan rasakan, jama’ah ini rindu semangat, bukan saling melemahkan. Bukankah  itu yang diajarkan Rasul? Selalu memantik ghiroh sahabat lewat busyro, dengan berita gembira yang membahana. Kita butuh itu untuk tegar meniti jalan ini. Walau tak selamanya bersih dari duri.’

Senin, 08 Oktober 2012


Sejenak Berhenti Mengkritisi

            Tidak berhasil, gagal sepertinya menjadi stempel yang selalu diberikan pada setiap agenda dakwah yang kita lakukan. Terlalu sering dan mudahnya kita mengucap ini gagal, tak berhasil atau makna sejenisnya. Tak jarang juga penilaian ‘gagal’ disertai dengan statement yang meremehkan begitu enteng diucap padahal sama-sama didasari tak mungkin kita dapat merasakan kegagalan kalau tanpa adanya usaha atau amal yang dilakukan sebelumnya. Kegagalan begitu sempit dimaknai, karena bisa jadi kegagalan itu muncul setelah banyak torehan keberhasilan yang dilalui.
            Ya, bisa jadi, kegagalan datang setelah banyaknya keberhasilan yang ditorehkan. Untuk yang berpikir instan mungkin ini tetaplah sebuah kegagalan. Analogi sederhana adalah ketika dalam sebuah kompetisi sepakbola, pergelaran Euro tahun ini misalnya, yang menghantarkan Spanyol sebagai jawaranya. Gelar tersebut diraih setelah mengalahkan Italia di partai puncak. Pertanyaannya adalah apakah Italia gagal? Sebagian besar mungkin kecewa dan bahkan ada yang mencibir kesebelasan ini. Tapi sesungguhnya Italia telah berhasil menasbihkan diri sebagai tim yang masuk dalam pertarungan final itu sudah luar biasa. Mereka lolos babak kualifikasi, penyisihan grup, perempat final, semi final hingga final itu merupakan torehan keberhasilan yang tentu tidak dapat dianggap sepele. Italia telah melewati banyak keberhasilan sebelumnya.
            Pun begitu dengan agenda-agenda dakwah. Sering berujung pada penilaian instant: targetan tidak tercapai, belum memuaskan, agendanya gagal! Kalau saja kritisi semacam ini selalu digembor-gemborkan apakah akan memberi dampak yang baik untuk perkembangan dakwah? Bukan bermaksud untuk menghilangkan esensi dari sebuah evaluasi tapi penggiat dakwah mestinya perlu memandang secara menyeluruh tak terbatas pada satu sisi. Banyak capaian dakwah yang masih menjadi mimpi beberapa tahun lalu dan bisa terwujud sekarang ini, itu juga harus diinsyafi. Terkadang kita mesti mengingat keberhasilan itu, agar menjadi penyemangat diri. Karena kaidah dakwah yang diajarkan Rasulullah adalah menggembirakan bukan membebani. Rasul selalu memberikan busyro (berita gembira) pada para sahabat, inilah kemudian yang menjadi pemantik untuk mereka bersemangat dan termotivasi, kita pun memerlukan itu.
            Memang selalu ada kekurangan pada tiap agenda dakwah yang kita jalani, karena dari sana kita belajar menyempurnakan. Dan sesungguhnya bukan semata-mata hasil yang jadi parameter sebuah keberhasilan, tapi amal. Seperti kalamullah dalam At-Taubah 105:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan [At-Taubah : 105].
Titik tekannya adalah beramal,bekerja. Bukan pada hasil yang didapat. Karena jika orientasi kita adalah pada hasil mungkin Nabi Nuh a.s dikatakan ‘gagal’ karena selama 950 tahun berdakwah hanya beberapa saja yang jadi pengikutnya, Nabi Zakaria ‘gagal’ karena beliau dibunuh oleh kaum yang didakwahinya, keluarga Yasir juga bisa dikatakan ‘gagal’ karena keislaman mereka berujung pada pembantaian oleh kafir quraisy. Namun mereka berhasil menginspirasi da’i setelahnya untuk tetap giat berjuang mentauhidkan Allah.
            Sekali lagi tugas kita adalah beramal, mastatho’tum (At-Thaghoobun: 16) urusan hasil biarlah menjadi hak peogratif Allah. Kerena ketika kita disibukkan dengan amal itulah makna keberhasilan sejatinya. Kapan dan di mana kemenagan itu Allah berikan terkadang tidak kita perkirakan sebelumnya. Yang pasti dan harus diyakini kemenangan hanya Allah berikan untuk orang-orang yang berusaha, bukan sebaliknya. Tiap usaha fitrah menemui kegagalan. Tapi kegagalan sebenarnya adalah ketika kita tidak beramal sama sekali (Ust. Abdullah Haidir L.C)
            Maka sekarang kita harus berhenti jika hanya terfokus pada kritisi dan saling melemahkan. Tugas kita untuk memotivasi dan saling menyemangati. Jangan biarkan langkah kaki terhenti hanya karena kritik-kritik tak bertujuan. Tegar seperti syair nasyid “Bingkai Kehidupan”. Tetaplah menyongsong visi. Biar Allah sebagai saksi atas amal yang kita lakukan karena-Nya, bi idznillah.

Jumat, 28 September 2012


            Salamatush Shadr. Kukenal kata itu tiga tahun yang lalu. Saat tak sengaja membuka lembaran pekanan saudara perempuanku. Dijelaskan bahwa kumpulan huruf itu menempati tingkatan ukhuwah terendah menurut Imam Syahid hasan Al-Banna, jika dibanding dengan husnudzhon dan itsar. Kala itu kuyakin merasa faham memaknainya, tanpa merujuk konteks. Dengan coba sedikit berspekulasi,  kuterjemahkan kata ini sepadan dengan tenggang rasa. Materi yang begitu familiar ketika belajar PPKn di bagku SD. Tenggang rasa kepada sesama, apapun kondisinya. Kala sedih apalagi waktu bahagia.
            Terjemahan kilat itu mungkin bisa jadi benar, tapi tidak sepenuhnya. Karena kalau kita coba memahami dengan konteks, banyak sekali ilmu yang akhirnya menjadi tak sempurna jika kita hanya terhenti pada ranah teoritis tanpa menghantarnya pada ruang praktis. Aplikatif, ya ilmu terapan. Termasuk materi satu ini, yang menuntut kita untuk merasa tak hanya berkata.
            Aku sebenarnya hanya ingin memaparkan kedhoifanku. Yang begitu terbatas memahami ilmu, yang tak terbatas diajarkan-Nya, yang begitu luas dihamparkan-Nya. Lapang dada tak serupa tenggang rasa. Karena ranahnya berbeda, antara akhlak dan moral yang sebenarnya juga tidak arif jika dikomparasikan. Tenggang rasa muncul oleh dorongan simpati pada sesama sedangkan salamatush shadr timbul karena mahabbah pada-Nya. Lapang dada menjadikan muslim mukhlisin pada ketentuan yang dihadapi. Berkaitan dengan saudara, karena sekali lagi ini bahasan ukhuwah.
            Kembali merujuk yang disampaikan Imam Syahid Hasan Al-Banna, lapang dada adalah tingkatan terendah dalam ukhuwah. Sesungguhnya sangat berkaitan dengan respons seseorang terhadap apa yang sedang menimpa saudaranya. Apapun keadaan yang terjadi, salamatush shadr mengajarkan kita empati. Bersuka kala ia bahagia, pun sebaliknya ikut menanggung jika saudara seiman kita sedang bersedih. Mungkin mudah  jika kita saling memebersamai. Tapi bagaimana kalau kondisinya tak ideal? Kita punya peluang yang sama untuk bahagia tapi Allah memberikan kesempatan saudara kita terlebih dahulu yang dapat meraihnya. Sedang kita harus mengencangkan ikhtiar lagi untuk hal yang sama mencapai takdir baik-Nya, mudahkah berlapang dada? Inilah mungkin letak salamatush shadr yang sesungguhnya.
            Nyatanya tak mudah menyamakan rasa ketika kita tak berada pada temperature yang sama. Tapi ini sesungguhnya tak berbelit. Hari ini dengan seizin-Nya itu kemudian terjadi padaku. Tepat hari ini Allah menguji apakah berhak aku lolos pada tingkatan ‘rendah’ dalam ‘arena’ ini? Jujur, seakan aku memulai semuanya dari awal tepat saat pertama aku terarah ke jalan ini. Ada yang salah ketika aku tak berbahagia kala saudara seimanku bersuka cita. Walau tak ada sedikit pun muncul iri dalam hati (na’udzubillah, tolong jauhkan Rabb), tapi nurani tegas mengatakan aku tak seharusnya begini. Tak ahsan jika aku belum juga bisa bahagia. Sungguh tercela aku berdiam saat yang lain menggembirakan.
            Kufahami kembali Rabbi, engkau pemilik hati kami. Mudah bagimu untuk membolak-baliknya. Tak susah untuk-Mu gelap atau meneranginya. Kau sadarkan aku, sungguh mukmin itu satu tubuh. Tak terbesit sedikit pun untuk melukainya, fagh firlii. Aku malu, terkadang lupa pada senyuman paling manis dari hati yang menjadi hak saudariku, lupa pada malaikat yang senantiasa mengaminkan do’a si pendo’a yang begitu mencintai saudaranya, lupa pada jalinan tali tasbih muhajirin dan anshor, lupa pada kisah Abu Bakar yang begitu lapang pada rasul ketika meminang Hafsah, lupa pada Khalid saat digantikan Abu Ubaidah, aku lupa Allah, lupa pada firmanMu (q.s Al-Anfal:63), pada ridhomu bagi orang yang saling mencintai karena-Mu. Aku lupa, dan ternyata belum mampu memaknai semua itu.
            Terang. Semuanya menjadi indah karena prasangka baik kita. Lewat qolbu yang mesti selalu ikhlas dan husnudhon senantiasa, yakinlah semuanya akan terasa mudah. Bi idznillah. Tegas, tak ada alasan lain untuk tak membahagiakan saudara yang sedang berbahagia. Apapun kondisinya. Karena sungguh, tak ada kesejukan lebih yang hadir saat senyum itu merekah. Aku bahagia, karena kami satu tubuh. Ia diriku, kita satu.. Aku mesti menata hati kembali, mungkin ada yang salah dalam diri ini. Tapi sungguh Rabbi, kusadari hari ini moment tak terlupa. Aku bahagia karena-Mu, sungguh..

“Fabima Rohmatim minallaha linta lahum”
           
           

Kamis, 12 Juli 2012

Belajar dari Petani

Pernah melihat betapa gigihnya seorang  petani?
Bagaimana dengan kesabaran, mereka begitu giat membajak,
menyemai, menebar benih, menanam, menyiram, memupuk,
dalam keadaan dan kondisi apa pun. Panas, terik, hujan, badai,
tak menjadikan mereka berhenti berusaha dan berharap jika nanti
tiba masanya panen hasil terbaiklah yang akan mereka dapatkan.

Ya, terkadang kita mesti belajar dari seorang petani
Betapa istiqomahnya mereka memperjuangkan sebuah pencapaian
Dan begitulah seharusnya aktivis dakwah, yang kita perlukan adalah azzam
dan ikhtiar yang sempurna dengan keyakinan bahwa suatu saat kemengan
dakwah akan datang sesuai yang Allah janjikan
kalaupun tidak pada masa sekarang, dan tidak bisa kita rasakan
setidaknya kita sudah berkontribusi untuk realisasi kemenangan itu,
pada regenerasi setelah kita nanti

Selasa, 10 Juli 2012

Lupakah Kita Amalan yang Allah cinta?


Lupakah Kita Amalan yang Allah Cinta?
            Hidup terasa begitu singkat jika tak dipahami hakikatnya. Sebagai seorang hamba, apalagi yang berlebel aktivis dakwah harusnya memilki pandangan dan pijakan hidup yang tidak biasa. Setiap kita hendaknya menyadari bahwa jatah usia yang Allah berikan terbatas pada mahkluk-Nya (Q.S Al-Ankabut: ) padahal syurga adalah yang kita damba. Kita juga tak dapat menebak kapan saatnya ajal tiba, dan yakinilah bahwa setiap perguliran waktu dosa senantiasa hadir dan mengikuti tanpa disadari. Lalu apa yang mesti dilakukan? Kita mesti cerdas, cerdas sebagai hamba, cerdas dalam bertaqwa. Cerdas dalam ibadah dan bermahabbah pada-Nya.
            Kecerdasan seorang hamba adalah ketika dia beramal, dia begitu faham dengan ilmunya.. nah, perkara ini yang terkadang tidak begitu diperhatikan, dan sering terlewati dalam rutinitas ibadah kita. Banyak yang beribadah tetapi belum merasakan kedekatan dengan Allah, apakah salah pada cara atau niatnya? Wallahu ‘alam. Yang pasti ketika ilmu senantiasa mengiring dalam amal, akan hadir ketenangan bagi yang mengamalkannya. Beribadah itu sebuah pembelajaran. Lalu apa hubungannya dengan keterbatasan waktu hidup manusia di dunia? Jawabannnya adalah kita harus cerdas dalam prioritas ibadah. Pastikan ibadah kita adalah ahsanul amalah, yang begitu Allah cinta dan kia pun merasakan hikmahnya. Dengan apa memastikannya? Bi ilmi, dengan tsaqofah yang ada pada diri kita.
            Kita mesti faham, amalan apa saja yang utama di mata Allah. Berdakwah? Benar, begitu active income pahala yang diberikan Allah kepada seorang da’i.. pertanyaannya apakah setiap orang tergerak hatinya untuk menyeru pada kebaikan dan melaksanakan sunnah rasul “ballighu anni walau aayah”, ternyata tidak. Banyak yang masih merasa nyaman pada posisi ‘objek’ dan tidak sedikit yang memilih sebagai penentang. Lalu masalahkah itu untuk kader dakwah? Bukan karena itulah dinamika yang Allah berikan khusus pada penggiat risalah. Yang jadi masalah adalah diri kita. Yang mengaku aktivis dakwah.
            Sadarkah kitalah mungkin yang jadi penyebab terhambatnya kemenangan dakwah? Terlalu ekstrem mungkin tapi inilah realita yang melanda. Banyak aktivis dakwah yang amanahnya seabrek, jam terbangnya tinggi tapi terlalai dalam urusan ruhiyah. Padahal bagaimana mungkin do’a-do’a kita diijabah, kemenagan dakwah ini akan Allah berikan ketika tak ada kedekatan kita pada-Nya. Setiap hari berkutat pada amanah, mobilitas haroki tanpa ada asupan gizi..
            Teruntuk aktivis dakwah, pengemban risalah sadarlah kita yang sedang Allah awasi. Jangan sampai salah orientasi, sibuk berdakwah hingga lupa amalan yang Allah cinta.
Dari Abdullah bin Masud Rhadiallahu Anha, dia berkata, "saya pernah bertanya kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wa sallam, "Apakah perbuatan yang paling utama?" Beliau menjawab, "Shalat  tepat pada waktunya." Dia berkata, "Saya bertanya lagi, kemudian apa?" Beliau menjawab, "Berbuat baik kepada kedua orang tua." Dia berkata, "Saya bertanya lagi, lalu apa?" Beliau menjawab, "Jihad di jalan Alloh." Maka saya tidak menambah pertanyaan melainkan untuk melaksanakan dan menjaga hal tersebut.

Shalat di awal waktu adalah amalan yang begitu Allah cintai ,begitu sabda Nabi. Tapi, banyak yang lebih memilih ke kantin ketika waktu dzuhur hampir tiba, shalat ashar mesti diundur karena taujih yang dilaksanakan belum selesai, begitu pun waktu maghrib di akhir waktu bahkan sering dijama’ karena masih berada dalam kendaraaan. Allah maha tahu, sungguh Ia maha mengetahui.. Apakah ada ruksoh untuk kita mengundur waktu shalat? Tidak ada jawabnya. Karena fisik kita bugar, fikiran kita sehat, bahkan terlebih kita seorang aktivis yang mengemban misi dakwah. Lalu apa beda kita dengan teman-teman lainny? Bukankah hal yang ditanamkan di awal perjalanan kita adalah aqidah, ya salimul aqidah.
            Bagaimana aqidah yang bersih, baik akan menghantarkan pada ketenagan hati.. Jangan sampai kita mendalih dakwah sebagai alasan untuk lalai pada yang fardhu. Jangan sampai orientasi kita adalah agenda dakwah, bukan ridho-Nya. Jadikan pribadi kita pribadi yang benar-benar Allah cinta, karena ibadah kita yang optimal dan dakwah kita yang tak mengenal kata lelah. Mungkin selama ini kita tak sadar, Allah menanti kita kembali.. Tidak ada rukshoh untuk yang fardhu dan tidak ada komparasi dalam urusan itu..
  • Catatan ini murni untuk menasihati diri sendiri
           
            

My Motivation Words

Bertahanlah kawan.
Jalan dakwah panjang terbentang jauh ke depan
Duri dan batu terjal selalu mengganjal, lurah dan bukit menghadang
Ujungnya bukan di usia, bukan pula di dunia
Tetapi Cahaya Maha Cahaya, Syurga dan Ridha Allah
Cinta adalah sumbernya, hati dan jiwa adalah rumahnya
Pergilah ke hati-hati manusia ajaklah ke jalan Rabbmu
Nikmati perjalannya, berdiskusilah dengan bahasa bijaksana
Dan jika seseorang mendapat hidayah karenamu
Itu lebih baik dari dunia dan segala isinya…
Jika engkau cinta maka dakwah adalah jihad
Sungguh-sungguh di medan perjuangan melawan kebatilan
Tinggikan kalimat Allah senantiasa
Kerja keras tak kenal lelah adalah rumusnya,
Tinggalkan kemalasan, lamban, dan berpangkutangan
Bukan pengorbanan
Yang ada hanyalah pembuktian…
Bukti cinta kita pada yang Maha Cinta


Jumat, 06 Juli 2012

Karena Muslimah itu Peduli


Karena Muslimah itu Peduli

            Muslimah sosok istimewa yang Allah ciptakan dengan segala kelebihan. Muslimah lebih Allah cinta jika ia pun mencintai Allah. Muslimah fitrahnya begitu perasa, maka dari itu muslimah mesti lebih peka. Ia harus lebih sensitif dan peduli dengan apapun yang dirasa, dipikirkan serta dihadapinya. Wahai saudaraku muslimah, yang berada di bumi Allah sadarlah bahwa kita diciptakan sebagai ‘madrasatul ula’. Pendidik pertama dan utama untuk generasi-generasi berikutnya, generasi yang dinanti-nanti untuk perbaikan negeri bahkan cita-cita luhur islami. Bagaimana mungkin kita dapat mencetak mujahid robbani andai diri saja belum baik secara pribadi? Muslimah mesti peduli akan hal ini. Muslimah harus pandai mengevaluasi dan menata diri. Ya, muslimah harus peduli..

Muslimah harus peduli
Apakah ia sudah baik secara pribadi?
Baik menjaga lisan, menjaga hati dan fikiran. Selalu menjadikan Allah sebagai pegangan. Mensyukuri nikmat yang diberikan, minimal tidak mengeluh ketika dihadang ujian kekurangan. Sabar dalam ketaa’an. Jadi yang utama dalam amal pilihan. Menguatkan azam untuk tetap bertahan sampai jelas pencapaian.

Muslimah mesti peduli
Sudahkah menjadi saudara yang baik bagi saudaramu ukhti?
Hingga tak akan ada lagi nantinya yang berpaling lebih memilih lawan jenis untuk mencurahkan isi hati, bahkan memprioritaskan ‘mereka’ ketika meminta solusi.
Agar jangan sampai terulang kembali penodaan ukhuwah yang suci, yang merasa tak diperhatikan lebih dalam barisan ini.
Karena mungkin kita belum sadar secara pribadi, sibuk dengan urusan fardhi..

Muslimah sungguh harus peduli..
Bagaiman ia menjaga Izzah diri,
Bagaimana mestinya ia berinteraksi. Kapan saatnya berlembut hati dan tegas dalam mengambil sikap pribadi. Hingga nantinya tak timbul penyakit hati dan salah orientasi. Yakinkan diri benar-benar ikhlas ketika menjalankan amanah.
Tetaplah meluruskan dan perbaharui niat untuk-Nya walau diperjalan sering berpaling arah..
don’t worry ukhtii..

Muslimah ayo peduli..
Sejauh mana kontribusi kita dalam dakwah ini?
Apakah hanya menjadi beban atau sekarang sudah bertransformasi sebagai solusi?
Sudahkah pikiran, harta dan jiwa sepenuhnya diberdayakan?
Hingga lelah yang diarasa ternyata menjadikan hati kita tenang bahkan saat-saat itulah yang dirindukan?

Muslimah pedulikah?
Orang tua kita, yang sebenarnya menanti bakti dari anak shalihah-nya.
Sampai saat ini sejauh mana birrul walidain pada mereka?
Mereka butuh keberadaan kita, merekalah targetan shibgoh yang utama, adakah waktu luang kita untuk keluarga?

Muslimah pedulilah..
Mengapa tak kunjung berubah dan belum istimewa di mata-Nya?
Banyak muslimah sebelum kita yang begitu luar biasa, menginspirasi. Mengapa tak ditauladani?
Muslimah mesti memilih,
Sesempurna Khodijah
Seistimewa Maryam
Sekuat Asiyah
Seikhlas Fatimah
Secerdas Aisyah
Se-tsabat Tsumayyah
Sedermawan Zainab bint Jahsy
Seberani Asma’
Semulia Ummu Sulaim
Atau….
Mulimah mesti memilih, bukan yang tak pasti

Muslimah engkau peduli
Muslimah punya tujuan hidup yang pasti
Muslimah mesti tahu kapasitas diri.
Muslimah sadar harus baik dari hari ke hari
Muslimah sungguh selalu belajar, minal mahdi ilal lahdi
Muslimah tak henti mentarbiyah diri….        

*Untuk muslimah sejati, yang peduli merubah negeri