Jumat, 28 September 2012


            Salamatush Shadr. Kukenal kata itu tiga tahun yang lalu. Saat tak sengaja membuka lembaran pekanan saudara perempuanku. Dijelaskan bahwa kumpulan huruf itu menempati tingkatan ukhuwah terendah menurut Imam Syahid hasan Al-Banna, jika dibanding dengan husnudzhon dan itsar. Kala itu kuyakin merasa faham memaknainya, tanpa merujuk konteks. Dengan coba sedikit berspekulasi,  kuterjemahkan kata ini sepadan dengan tenggang rasa. Materi yang begitu familiar ketika belajar PPKn di bagku SD. Tenggang rasa kepada sesama, apapun kondisinya. Kala sedih apalagi waktu bahagia.
            Terjemahan kilat itu mungkin bisa jadi benar, tapi tidak sepenuhnya. Karena kalau kita coba memahami dengan konteks, banyak sekali ilmu yang akhirnya menjadi tak sempurna jika kita hanya terhenti pada ranah teoritis tanpa menghantarnya pada ruang praktis. Aplikatif, ya ilmu terapan. Termasuk materi satu ini, yang menuntut kita untuk merasa tak hanya berkata.
            Aku sebenarnya hanya ingin memaparkan kedhoifanku. Yang begitu terbatas memahami ilmu, yang tak terbatas diajarkan-Nya, yang begitu luas dihamparkan-Nya. Lapang dada tak serupa tenggang rasa. Karena ranahnya berbeda, antara akhlak dan moral yang sebenarnya juga tidak arif jika dikomparasikan. Tenggang rasa muncul oleh dorongan simpati pada sesama sedangkan salamatush shadr timbul karena mahabbah pada-Nya. Lapang dada menjadikan muslim mukhlisin pada ketentuan yang dihadapi. Berkaitan dengan saudara, karena sekali lagi ini bahasan ukhuwah.
            Kembali merujuk yang disampaikan Imam Syahid Hasan Al-Banna, lapang dada adalah tingkatan terendah dalam ukhuwah. Sesungguhnya sangat berkaitan dengan respons seseorang terhadap apa yang sedang menimpa saudaranya. Apapun keadaan yang terjadi, salamatush shadr mengajarkan kita empati. Bersuka kala ia bahagia, pun sebaliknya ikut menanggung jika saudara seiman kita sedang bersedih. Mungkin mudah  jika kita saling memebersamai. Tapi bagaimana kalau kondisinya tak ideal? Kita punya peluang yang sama untuk bahagia tapi Allah memberikan kesempatan saudara kita terlebih dahulu yang dapat meraihnya. Sedang kita harus mengencangkan ikhtiar lagi untuk hal yang sama mencapai takdir baik-Nya, mudahkah berlapang dada? Inilah mungkin letak salamatush shadr yang sesungguhnya.
            Nyatanya tak mudah menyamakan rasa ketika kita tak berada pada temperature yang sama. Tapi ini sesungguhnya tak berbelit. Hari ini dengan seizin-Nya itu kemudian terjadi padaku. Tepat hari ini Allah menguji apakah berhak aku lolos pada tingkatan ‘rendah’ dalam ‘arena’ ini? Jujur, seakan aku memulai semuanya dari awal tepat saat pertama aku terarah ke jalan ini. Ada yang salah ketika aku tak berbahagia kala saudara seimanku bersuka cita. Walau tak ada sedikit pun muncul iri dalam hati (na’udzubillah, tolong jauhkan Rabb), tapi nurani tegas mengatakan aku tak seharusnya begini. Tak ahsan jika aku belum juga bisa bahagia. Sungguh tercela aku berdiam saat yang lain menggembirakan.
            Kufahami kembali Rabbi, engkau pemilik hati kami. Mudah bagimu untuk membolak-baliknya. Tak susah untuk-Mu gelap atau meneranginya. Kau sadarkan aku, sungguh mukmin itu satu tubuh. Tak terbesit sedikit pun untuk melukainya, fagh firlii. Aku malu, terkadang lupa pada senyuman paling manis dari hati yang menjadi hak saudariku, lupa pada malaikat yang senantiasa mengaminkan do’a si pendo’a yang begitu mencintai saudaranya, lupa pada jalinan tali tasbih muhajirin dan anshor, lupa pada kisah Abu Bakar yang begitu lapang pada rasul ketika meminang Hafsah, lupa pada Khalid saat digantikan Abu Ubaidah, aku lupa Allah, lupa pada firmanMu (q.s Al-Anfal:63), pada ridhomu bagi orang yang saling mencintai karena-Mu. Aku lupa, dan ternyata belum mampu memaknai semua itu.
            Terang. Semuanya menjadi indah karena prasangka baik kita. Lewat qolbu yang mesti selalu ikhlas dan husnudhon senantiasa, yakinlah semuanya akan terasa mudah. Bi idznillah. Tegas, tak ada alasan lain untuk tak membahagiakan saudara yang sedang berbahagia. Apapun kondisinya. Karena sungguh, tak ada kesejukan lebih yang hadir saat senyum itu merekah. Aku bahagia, karena kami satu tubuh. Ia diriku, kita satu.. Aku mesti menata hati kembali, mungkin ada yang salah dalam diri ini. Tapi sungguh Rabbi, kusadari hari ini moment tak terlupa. Aku bahagia karena-Mu, sungguh..

“Fabima Rohmatim minallaha linta lahum”