Senin, 30 Desember 2013

Beranjak Senja


            Kalimat akhir pada cerita itu adalah “Wajahnya berseri dengan senyuman.”. Tentang cerita beberapa pekan lalu, yang baru pertama kali kudengar. Begitu haru menyimaknya, jujur menyelinap rasa bangga dengan sepotong kisah itu. Bangga karena ditakdirkan memiliki nasab yang sama dengan sosok yang diceritakan. Tepatnya mungkin merasa beruntung.
            Nenek yang tiba-tiba menceritakan, tentang saudara perempuannya. Ia punya banyak kelebihan dan menjadi yang paling tawadhu dalam keluarga. Masa kecilnya yang pekerja keras, penyabar dan tak kenal mengeluh dengan kehidupan di pelosok (Dusun) yang serba sulit. Ia juga begitu ikhlas, saat nenek ‘melangkahinya’ untuk terlebih dahulu menikah, dengan kondisi dahulu yang pemaklumannya tidak seperti sekarang. Selang 5-6 tahun setelah itu, barulah ia pun menyusul. Kekaguman pada sosok yang ingin sekali kulihat wajahnya ini semakin bertambah, saat nenek memberitahukan tentang tutup usianya. Ia meninggal saat melahirkan anak kedua. Dengan usia kandungan yang belum genap, saat-saat kritis itu pun masih sempat ia lewati dengan menggendong anak pertama yang kala itu menangis. Bisa dibayangkan. Sampai akhirnya, ia menemui husnul khotimah. Bersama satu nyawa lagi yang masih dalam kandungan.
            Sepotong tulisan ini tak akan bisa mewakili seutuhnya tentang segala kebaikannya. Ia meninggal dengan syahid, kondisi akhir yang selalu menjadi do’a setiap muslim. Harus kutuliskan kembali betapa aku merasa beruntung menjadi salah satu ‘cucunya’. Menjadi bagian dari keluarganya, walau tak sempat menatap wajahnya atau setidaknya melihat dirinya dalam foto. Kisah hampir setengah abad yang lalu ini kemudian menjadi inspirasi. Bahwa hakikatnya, akhir hidup itu sebanding dengan bagaimana proses kita melaluinya. Memulai, menjalani, lalu mengakhiri. Dan mungkin yang menjadi esensi adalah sejauh mana kesiapan kemudian mempersiapkannya.
            Malu sekali jika mengingat masa-masa di mana saat bincang ihwal kematian, yang ada bukan menghayatinya dengan penuh keinsyafan malah biasa saja kadang tertawa riang seolah tak mengacuhkannya. Tema yang sangat tak popular. Seolah jauh dari maut, bahkan tak sadar jika setiap jiwa akan merasainya. 
Begitu pun di setiap waktu, kadang timbul keengganan untuk sekadar mengingat kepastian itu karena kecintaan terhadap dunia yang kian hari kian bertambah. Memenuhi relung hati. Karena tanpa meminta persetujuan pun ternyata kesibukan dunia memang menyita waktu-waktu kita. Seringnya membuat lupa. Mengutip syair edcoustic “Pagi, siang, malam dunia yang kutuju.”.
            Banyak kesaksian dari orang-orang terdekat seputar kematian. Tentang kondisi mereka yang hampir dimangsa binatang buas, nyaris tertabrak mobil, hampir tenggelam, dan sampaian lain yang membuat mereka kemudian tersadar. Mungkin kita pernah atau nanti juga mengalami hal serupa. Dengan itu Allah menginginkan agar kita faham antara fana dan kehidupan kekal punya batas yang amat dekat. Sebegitu dekatnya dengan keseharian yang selalu menemani.
            Kematian akan menghampiri siapa saja. Tak kenal usia, status sosial, atau gelar keduniawian yang tak kan mendatangkan maslahat nanti. Kurang lebih itulah yang ditulis almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh. Segalanya mesti dipersiapkan, terlebih untuk hal yang pasti ini, walau tetap akan menjadi rahasia kapan tiba saatnya. Bukan sekadar untuk ditakuti sebab ketidakberdayaan kita. Karena hidup bukan tentang lama, tapi bagaimana menggunakannya. Semoga kita selalu mengharapkan, memunajatkan, merencanakan husnul khotimah. Bi izdnillah…

“Hari telah beranjak senja. Adakah usia kita juga sama? Sedang merayap senja.. dan kita tidak pernah tahu batas usia kita?”
(Moh. Faudzhil Adhim)


              

Rabu, 20 November 2013

Peran (an)

Menyampaikan sesuatu yang sifatnya teori ternyata  kadang kala membuat bosan. Dalam kelas, diam. Gambarannya tak jauh-jauh dari  satu orang menjelaskan kemudian yang lain mendengar. Syukur sekali semuanya mau mendengar, terkadang yang lain mengantuk lalu tertidur, ada yang bicara pada diri sendiri dan tak lama kemudian butuh lawan bicara lalu mengajak temannya mengobrol. Tapi yang terpenting selalu masih ada saja mereka yang membuat bersemangat masuk kelas. Yang matanya berbinar-binar saat sedang dijelaskan, yang terbukti sekali menyimak dengan seksama lewat pertanyaan-pertanyaan kritisnya, yang mengangguk antusias pertanda mulai memahami, yang tak berkedip as a sign mereka memperhatikan (meski hanya 1,2 saja), yang …, dan yang lain-lain. Terlepas dari itu semua, variasi respon yang mereka tunjukkan selalu memberi warna.
            Pun saat  kelas cerpen, yang KD nya mengharuskan terlebih dahulu mereka faham tentang konsep, dan itu pun sebuah teori. Siap-siap lagi menerima berbagai respon (ekspresi kejumudan). Wajar saja sebenarnya, karena yang dikedepankan selalu metode konvensional, yang itu-itu saja. Sedang mereka butuh suasana berbeda, yang bisa mengakomodir varian potensi tersembunyi yang dimilki dalam tiap-tiap pribadi..
 Saat menjelaskan terhenti pada unsur intrinsik cerpen karena ada yang bertanya perihal tokoh,penokohan dan watak tokoh.
“Kalau tokoh berwatak baik disebut protagonist, tokoh berwatak tak baik disebut antagonis, tokoh figuran yang netral sebutannya tritagonis, lalu bagaimana dengan tokoh yang awalnya jelek tapi pada akhir cerita ia berubah menjadi baik?”
Pertanyaan yang bagus dan ternyata ia jubir untuk teman-temannya.
Seketika terpikir tokoh insyaf tapi tak ada kategori itu, kemudian kujawab, “Kategorinya protagonis”. Fokusnya pada akhir cerita dan sifat tokoh yang mau mengakui kesalahan. Setelah itu tak muncul pertanyaan lagi.
            Yang agak rumit bagaimana kalau pertanyaannya sedikit diubah. Entahlah apakah terlintas dalam pikir mereka. Bagaimana andai tokoh protagonist yang selalu berperilaku baik, namun di penghujung ia melakukan kesalahan dan cerita pun berakhir. Apa sebutan untuk tokoh ini? Lantaskah disebut antagonis karena berfokus pada kesalahannya di akhir cerita?
Ya, dialah antagonis. Karena dalam cerpen begitu kecil sekup yang bisa kita amati. Cukup soroti alur cerita yang habis sekali baca. Lalu jawabnya, ia antagonis. Tepat dan tak melesat.
            Akan tetapi itu dalam cerpen. Semua penjelasan ringkas itu hanya pantas dan berlaku dalam cerpen. Tak sama dengan dunia nyata yang terdiri dari ribuan bahkan jutaan keping mozaik. Kemudian itu bisa kita hubungkan dan rangkai agar menjadi sesuatu yang utuh. Tak serupa dengan cerpen yang tak pernah bersambung. Apalagi jika pada bahasan analisis  watak tokoh. Tak adil mewacanakannya.
            Lalu jika dalam perjalanan yang pemainnya adalah Aku, Dia, Kamu, mereka.. Kita bersama. Aku nyaris tak pernah salah. Aku serupa tokoh protagonist sejati dalam cerpen. Sedang yang lain, tak tetap. Yang lain manusiawi sekali. Kadang pernah khilaf, lewat tatap sinis, lisan yang tajam, atau perilaku yang kurang menyenangkan. Dan aku, aku tak pernah menampakkan itu. Walau tak dipungkiri prasangka hati sering datang bertubi-tubi. Tapi tetap saja bagi yang lain akulah protagonist  dalam perjalanan ini, keyakinanku yang sangat mengatakan itu.
            Selain aku di sini, juga ada Kau, Dia, dan Mereka. Cukup membahas aku, yang sudah begitu tampak protagonisnya. Tentang Kau atau Dia atau mereka. Tak peduli siapapun itu, kalian bukan protagonist sejati. Kalian hanya insan biasa, yang sering kujumpai khilafnya. Entah Kau, Dia, atau Mereka. Sama saja kupikir. Walaupun kita memulai perjalanan ini dengan visi yang sama, uraian target terencana, keyakinan membaja, melewati suka dan duka bersama, kita melandasinya dengan kepercayaan penuh, Tapi, jika di tengah kayuh kita kemudian kalian melakukan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan dan kuanggap itu kesalahan. Maafkan, aku anggap kalian  salah. Kalian ternyata tokoh antagonis dalam cerpen. Tak perlu perhitungan dan timbang lain.
            Aku lalu melupakan peranan besar yang telah kalian lakukan dengan ikhlas, yang tak bisa lagi dibalas. Saat yang lain meninggalkan, nyatanya kalian tetap tegar berjuang. Tapi, Cara pandang itu seketika berubah karena ketidakpercayaanku atas kelakuan yang kalian buat itu. Aku yang protagonist ini, tak perlu pusing-pusing mencari alasan mengapa hal itu dilakukan. Karena bagiku, sekaliber kalian tak perlu ditolerir lagi, tak butuh. Aku juga tak usah introspeksi diri, toh aku protagonist. Tak pernah dikritik, selalu didengarkan, pembawa solusi, dan lain-lain. Tak ada yang perlu dikoreksi kan.
            Maka dengan kesalahan kalian yang tak bisa diukur besar atau kecilnya, menimbulkan kekecewaan yang sangat membekas. Entahlah, walau ada suara bening mengatakan:
“Jika mereka tertekan dan tak bisa mengungkap sesuatu padamu, maka kau tak benar”
“Andai sikapmu menjadi pembatas mereka menyampaikann kebenaran, kau salah”
“Salah jika menyimpulkan dan tak mencari kebenaran”
“Apalagi merasa selalu benar, itu jelas kesalahan besar”
            Pada akhir perjalanan nanti semua ingin menjadi protagonist. Menjadi baik dan selalu melakukan kebaikan. Jangan tanya sampai kapan aku mengecap antagonist pada kalian? Atas khilaf kalian. Aku si protagonist ini pun tak tahu menjawabnya. Mungkin, saat yang Maha mencipta menyadarkan alangkah berkah andai menjalani hidup dengan penuh kesadaran.. Sampai Ia menerangkan kebenaran. Bahwa ternyata mungkin aku yang antagonist. Mungkin, entahlah..

Perjalanan antara Aku, Kau, Dia, Mereka. Andai kalian pikir ini perlu jeda? Baiklah.
Itu saja…       
           
***

            

Sabtu, 09 November 2013

Udzunuw Waa'iyah

        Pernah berkesempatan ikut dalam majelis ilmu yang memfasilitasi belajar tafsir qur’an secara muttawatir. Pada saat itu surah yang dibahas adalah surah Al-Haqqah. Surah ke ke-69, terdapat pada juz 29. Diturunkan sebelum hijrah dan terdiri dari 52 ayat.
            Melihat dari namanya kita tahu bahwa surah Al-Haqqah secara umum tentunya menceritakan tentang gambaran hari kiamat. Sama seperti kandungan surah Al-Qiyamah, Al-Insyiqaq, At-Takwir, Al-Waqi’ah, Al-Ghasiyah, Al-Qori’ah, dan Al-Infithar yang secara bahasa adalah nama atau ragam kata yang artinya adalah hari kiamat. Pada surat-surat tersebut Allah menceritakan bagaimana gambaran hari akhir nantinya dan kesudahan keberadaan manusia sesuai porsi amaliyahnya selama di dunia. Namun ada satu ayat yang memberi ibroh berbeda dalam penyampaian ustad kala itu. Saat membahas tafsir ayat ke-12.
           Terjemahnya “Agar kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mendengar”. Lalu diceritakan, saat Rasululullah Muhammad SAW mendapati wahyu ini, beliau dengan segera mendo’akan sepupu tercinta Ali Bin Abi Thalib agar Allah menggolongkannya sebagai hamba yang memilki telinga yang benar-benar mendengar (Udzunuw Waa’iyah). Dan menurut ahli tafsir, perantara do’a Rasul itu menjadikan Ali Radhiallahu ‘anhu sebagai sahabat yang begitu peka pendengarannya dan tak lupa sedikit pun tiap perkataan yang disampaikan Rasulullah padanya.
            Alhasil pada kesempatan itu, seluruh ummahat yang mengikuti kajian meminta ustadz menuliskan ulang do’a Rasul teruntuk Ali. Terlihat mereka begitu semangat. Sekedar menebak mungkin do’a tersebut akan ditujukan pada jundi-jundi kecil mereka selain tentunya mengharapkan hal yang sama terhadap diri. Pada harapan besar teruntuk buah hatinya, agar seperti Ali r.a. yang dianugrah udzunuw waa’iyah.
            Kemudian melihat antusias itu yang terpikir adalah betapa sensitifnya Rasululullah. Teramat mulia lisannya. Tentang do’a indah yang dilantunkan. Spesifik dan jarang terpikirkan. Dari beliau kita belajar makna sebuah pinta, tidak abstrak melainkan yang dekat dan begitu dibutuhkan. Perihal do’a yang hakikatnya dimunajatkan, bukan disimpan dalam hati atau hanya jelmaan keinginaan.    
            Di tahun baru Hijriah ini yang memasuki angka ke-1435, setelah memuhasabah diri kita tentu terbiasa membuat resolusi hidup, capaian, targetan dalam kurun waktu yang kita batasi sendiri. Terkadang terpikir lalu digoreskan agar kita tak lupa dan selalu mengiangkannya.
Tapi mungkin sedikit pengingat adalah,
Setelah terpikir dan terencana sempurna
Sudahkah itu dimintakan kepada Allah secara santun lewat do’a indah
Rutinkah semua disampaikan dalam tiap munajat pada-Nya?
Lalu perkara keyakinan akan ijabah pinta kita
Semoga tak menjadi yang lupa pada kekuatan do’a
Tergolong udzunuw waa’iyah
berusaha peka dalam segala hal
Bahkan menjadi pribadi yang teramat peka dalam segala hal

Meminta untuk sebaik-baik do’a 

      Bahkan mungkin teruslah selalu berdo'a. Hingga bukan hanya isi do'anya, tapi do'a itu sendiri yang menjadi hajat dan nikmatnya menghamba pada Allah. Moga Ia bimbing kita memahami kalam-Nya, ketika hari ini banyak kecenderungan membelenggu ayat dengan judul dan kerangka. (Salim A. Fillah)

Sabtu, 21 September 2013

Ro_Na



              Goresan kali ini sekedar mengumpulkan kepingan kecil yang terserak. Agar tak hilang tercampur sia. Rona beberapa hari lalu terasa agak tak biasa. Saat dalam perjalanan tak sengaja menangkapnya. Pada Ibu paruh baya, yang semenjak awal menatap matanya, tertaruh rasa curiga. Curiga padanya yang menurutku begitu tak lazim disenyum ramah oleh hampir tiap petugas angkutan kota hari itu. Curiga padanya saat ia dengan mudah diberi keistimewaan tak typing (tanpa biaya) saat bergabung naik angkutan dengan kami. kecurigaan itu bertambah saat Ia ingin membeli saldo pada smart cardnya tapi petugas tak mengizinkan, malah memintanya langsung transit tanpa typing (lagi). Kembali curiga padanya saat ia menyapa dengan senyum ramah padaku. Dasar aku selalu curiga..
            “Ada pecahan 50rb nak?” Kalimat pertama yang kudengar lewat lisannya. Telah selesai kujawab, walau masih samar setidaknya aku tahu kurang lebih siapa ibu ini.. Ialah wanita yang hafal jam berapa keberangkatan awal dan kapan waktu-waktu bus yang kami tumpangi ini beroperasi. Ia selalu berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Anyaman sangkek yang terpegang erat ditangannya seolah menjadi saksi perjuangan ibu ini. Pulang-pergi, pagi-malam hari, dari sana ke sini.
            Dan ketika bus jurusan kami menghampiri, sengaja kupilih duduk tepat di sampingnya. Entah, kali ini bukan karena aku masih curiga. Seperti magnet saja, aku mengejar rona. Ibu itu pun mulai bercerita perihal rutinitasnya. Kemudian tentang bumbu, bahan makanan, resep memasak dan lain sebagainya. Dalam hati aku makin percaya keputusan yang tepat jika ia telah memilih membuka warung nasi sebagai pencaharian utama. Walau terkategori jauh jarak yang harus ditempuh ibu ini, tepatnya halte pemberhentian ujung di perbatasan kota. Tapi dengan jelas guratan di wajahnya menegaskan itu tak masalah. Dia juga menceritakan tentang sopir dan kondektur yang menjadi langganan masakannya, yang kadang-kadang menghutang pulsa. Manusiawi, wajar petugas bus ini banyak yang kenal dengannya.
            Sambil tetap tersenyum, lisannya begitu fasih melanjutkan cerita. Tentang shalat jamak-qoshor yang ‘terpaksa’ dilakukan karena sibuknya melayani pembeli. Karena tak sanggup menggaji pegawai jadilah ia sendiri. Tersebab itu ia pun mengandalkan kejujuran pembeli saat membayar makanan. Karena akan melelahkan sekali jika tiap meja harus diawasnya satu persatu. Jalan mulai ramai kala itu, musik yang diputar berkolaborasi dengan bunyi mesin mobil yang dipacu kecepatan tinggi membuat suara Ibu itu pun jadi tak jelas. Dan aku mulai memberi respon monoton, tersenyum lalu mengangguk antusias.
            “Masih kuliah atau kerja?”, pertanyaannya kali ini seakan menuntut giliran, meminta aku yang berbicara. Mungkin karena ekspresiku yang begitu-begitu akhirnya ia balik bertanya. Demi merespon ulang jawabanku, rona itu semakin terpancar. Bagaimana pengetahuan yang ia bagi ihwal parenting. Nasihatnya seputar psikologi remaja. Tentang kesungguhan dan kesabaran bekerja juga tak luput tersampai dari lisannya. Kontekstual sekali ibu, seperti ahli. Bahkan mungkin kaulah sesungguhnya yang berilmu. Padahal hari-harimu berkutat di bus dan warung nasi yang mesti selalu dijaga. Beberapa cerita perih yang ia sampaikan di ujung pertemuan makin menjadikannya rona. Yang kutangkap singkat tapi banyak menebar hikmah..
*******

Begitulah. Kadang kita masih tak syukur diketengahkan pada pilihan yang begitu banyak, sedang di luar sana mereka cenderung terbatas pilihan dalam memutuskan.
Beruntungnya menjadi orang yang tak selalu bincang agama, tapi diri selalu mendapat tausiyah darinya walau tak terlisan.
Dan seputar rona. Tangkap dan maknai ia sedalam-dalamnya. Betapa penting. Merasakan sendiri bagaimana langsung jatuh hati pada orang yang baru pertama kali ditemui. Semoga keberkahan-Nya selalu mengiring, menjaga dan menemani.
Untuk ia yang disebut rona
             
           

Selasa, 10 September 2013

Fan Firu!

 Jika dalam tiap detik adalah pilihan
Sebagai insan kita pun harus senantiasa menyiapkan keputusan
Pilihlah untuk memilih
Pilihlah untuk terus menetapkan

Walau berat, sulit
Meleset, tak tepat bahkan salah sekalipun
Bukan hal luar biasa,
Karena
Putaran akan terus berjalan
Tiba nantinya, bertemu masanya
Tersua  dengan kondisi yang benar
Lewat pilihan kita
Maka pilihlah, teruslah memilih!

Memilih bukan menerima
Mungkin, memilih untuk menerima
Ada pilihan mempertahankan
Putusan menolak pun
Punya hak terposisi opsi
Pilihlah!

Dan pilihan hakikatnya
Mentafakkuri segala apa yang ada
Mendekat pada yang paling baik menurut-Nya
Tak terlewat, putus kita berulang kali alpa
Sedang Ia, tahu segala-galanya
Maka pilihan terbaik adalah
Menyertakan Allah dalam tiap putusan
Selalu mengedepankan-Nya

Juga
Sebelum meniti berjuta pilihan
Tunjuklah saudara terpilih untuk diri
Yang dengannya
Sedih jadi terurai
Bahagia bisa dibagi
Atau
Walau tak pernah terkata
Segala cerita, jika temanya adalah “kita”
Tak ada yang tak jadi indah

*******


Kamis, 29 Agustus 2013

Embun di Pangkal Senja


Karena tersebab untuk senandung yang tak lagi
Mungkin hilang atau semestinya diganti
Bisa jadi ia pergi
Entahlah, tapi tak jelas jika didefinisi

Andai boleh, tanyakan saja pada semua orang
Tanyakan pada yang mendengarkan
Sungguh tak sedap jika senandung itu masih tak terganti
Semestinya ia diubah
Memang harusnya ada yang menggubah
Liriknya saja, tak perlu aransemennya

Agar menjelma ia sebagai embun
Meski di pangkal senja
Hadirnya jadi mempesona
Memuat sejuta makna
Menguatkan komponen lainnya
Jadi pembaharu untuk ditiru
Gegas melecut energi baru

Mengharap embun di pangkal senja
Bukan hal yang tak biasa
Ia sah dan boleh-boleh saja
Melodinya nanti akan berharmoni
InsyaAllah terharmoni

Dan untuk senandung yanga tak lagi
Walau nanti tak persis sama
Banyak lagu yang masih bisa dicipta
Apakah lirik, nada, penyanyi, komposer
Sungguh bukan masalah

Tiap kesungguhan akan mendapat penilaian
Tiap langkah nanti memberi kesaksiannya
Ia yang maha mengetahui setiap isi hati
Bahwa sesungguhnya
Tak ada yang terlewat
Juga luput tercatat
Bahwa kini mulailah masuk dalam diri
Sungguh masih begitu banyak yang harus diberi peduli





Senin, 08 Juli 2013

Melankolis Ramadhan

            Tinggal hitungan jam dan lebih kurang 3 kali adzan fardhu lagi, kemudian kita insyaAllah dijumpakan dengan Ramadhan. Bulan yang dikonstruksi hanya dengan 8 huruf tapi makna dan kandungan kebaikan di dalamnnya tak hingga tanpa batas. Saat pertemuan dengannya kini begitu dekat setelah terasa sekali penantian akan hadirnya, yang seluruh penduduk bumi dan langit begitu syahdu, bersuka cita menyambutnya.
            Sebenarnya secara fisik Ramadhan adalah bulan yang sama dengan 11 bulan lain dalam tahun Hijriah. Seperti halnya hari jumat yang memiliki kesamaan  fisik terhadap 6 hari lain dalam satu Minggu. Yang membedakan adalah pemaknaan terhadapnya. Pemaknaan itu kemudian bisa disebabkan karena memang Allah lah yang secara langsung memuliakan waktu itu dan atau ada histori (momentum mulia) yang terdapat di dalamnya. Dan Ramadhan mencakup kedua  alasan tersebut. Dengan jelasnya Allah firmankan dalam Al-Qur’an berpuasa pada bulan ini adalah syarat seorang muslim digelar derajat taqwa. Nama lain Ramadhan adalah Syahrul qur’an karena nuzulnya pada bulan ini, tepat malam 17 Ramadhan. Sama halnya dengan 3 kitabullah, Taurat, Zabur dan Injil. **
            Dengan kesempurnaan design Allah khusus pada bulan Ramdahan malu rasanya kalau meyambutnya ala kadar, sekedar euphoria tanpa ma’nawiyah mendalam. Ia datang dengan kesempurnaan, mestinya disambut dengan persiapan yang juga perfecto.. Satu kata pamungkas yang begitu identik dengan pribadi melankolis; ideal à sempurna. Lebih tepatnya berupaya melakukan ibadah terbaik untuk meniti derajat mulia. Menjadi begitu ‘idealis’ saat Ramadhan. Berusaha semelankolis mungkin; pra, saat, dan pasca Ramadhan. Artinya untuk yang sama sekali bukan si melankolis, kita akan berubah untuk menyesuaikan kondisi dengan Ramadhan yang mulia. Mulai dari merapikan dan menyusun semua ‘anshitoh Ramadhan’ secara detil dan terperinci, merunut capaian perhari, tiap malam memuhasabah diri, sampai menghitung-hitung dan mengkomparasi amal apa yang lebih utama untuk kita lakukan dalam tiap detiknya. Terkadang pribadi melankolis dijuluk orang yang begitu lama berkecamuk dalam kompromi terhadap diri dan banyak sekali poin-poin yang mesti dipikirkan. Itu umumnya, tapi berjumpa Ramadhan kita memang harus banyak berpikir, bertafakkur, yang beruntung adalah ia yang paling ma’rifat dengan Ramadhan. Menjalaninya berbekal ilmu.
            Lekat sekali dengan cerita seorang pedagang makanan di Pulau Jawa yang teramat cinta pada Ramadhan. Dalam kamusnya, hanya ada 11 bulan untuk bekerja mencari ma’isyah. Khusus Ramadhan, tutup toko dan fokus berkhusyuk dalam ibadah. Karyawannya tetap diberi tunjangan agar tak kehilangan penghasilan. Pemikiran tingkat tinggi yang begitu percaya dengan kuasa-Nya. Ada lagi kisah seorang ummahat yang sengaja tak disebut namanya. Ada kebiasaan unik, khas. Ia sekeluarga sepakat bahwa tak ada waktu mencuci piring selama Ramadhan. Mereka terbiasa membeli makanan siap saji, kalaupun memasak itu sesekali dan memang terdesak. Tiap detik adalah ibadah dan ibadah. Bukan berarti keluarga ini tak pandai memanajemen waktu. Ilmu dan perhitungan kalkulasi ibadah lah yang membuat mereka berbeda.
            Menjadi yang melankolis juga berarti memikirkan segala urusan. Bukan hanya bagaimana kisah kita di bulan Ramadhan. Tapi seperti apa kondisi ia, mereka, saudara-saudara kita dalam menyambutnya. Di Indonesia, dari Sabang sampaii Marauke, terutama Aceh yang baru-baru ini diuji bencana. Belahan bumi lain, saudara seiman di seluruh penjuru dunia. Semoga keberkahan berlipat-lipat teruntuk mereka yang lebih dulu berjihad dibanding kita. Palestina, Suriah, Mesir, Tunisia, saudara muslim di mana pun ia berada. Do’anya adalah semoga makin dikuatkan, diberi ketancapan azzam, disegerakan pertolongan, insyaAllah akan ada berjuta kisah indah, bahagia, berlimpah pahala, full barokah di Ramadhan kali ini untuk mereka… Munajat kita adalah tak sekedar untuk kebaikan diri pribadi, tapi selalu menyelipkan do’a special untuk mereka karena Allah begitu cepat mengijabah do’a, terkhusus di bulan ini.. Kemudian tega sekali kita dengan segala kemikmatan yang ada nantinya melewatkan Ramadhan dengan sia-sia. Jangan selalu mau tertinggal, tertinggal jauh dari mereka yang selalu mulia dengan segala keterbatasan
            Berjumpa Ramadhan kita punya misi yang sama, 30 hari mencari cinta. Merebut hati-Nya, mencari cinta-Nya, menjadi yang paling dikasihi-Nya. Lewat cara yang berbeda-beda. Mari menginspirasi diri sendiri agar tak kenal kata letih. Karena bulan ini hanya ada pembuktian cinta. Berjurus melankolis, senyuman dan ibadah yang optimal..



Jumat, 07 Juni 2013

Permata Tarbiyah


            Pernah mendengar lagu ini, sebuah nasyid full inspirasi. Pun saat menggores tulisan ini, terus ku putar-putar ulang mp3nya agar tak sedikitpun kehilangan pesan rasa yang menggelora. Entahlah pada siapa tepatnya apresiasi ini dihadapkan? Untuk Izzatul Islamkah? yang lewat suara mereka setiap pendengar terlecuti menjaga kontinuitas dakwah? Atau aransemennya, atau pada sosok perempuan yang menjelma, muslimah pilihan Allah yang digelar permata tarbiyah? Semua komponen dalam lagu ini seakan berharmoni mencipta keselarasan. Yang menyirat makna bahwa ini bukan senandung biasa, ini adalah lagu istimewa. Ceriteranya hadir menyuguh fakta tentang seorang insan, tanpa dibumbuh rekayasa.
            Menyelam tiap lirik pada lagu ini membuat diri menunduk dan makin tertunduk. Betapa anggun dalam kesejukan tokoh yang dikisahkan. Walau terpisah fana tapi gaung dakwahnya tetap mempesona. Ia lah yang menyemai jejak langkah abadi dalam tiap diri.. Ia yang tangan kanan menggoyang buaian dan tangan kirinya mengguncang dunia. Ia yang hidup di masa ini tapi semangat juangnya menyerupai shahabiyah yang membersamai Rasulullah. Ia lah muslimah yang meletakkan cinta pada Allah di atas segala-galanya. Ia benar potret permata tarbiyah.
            Teringat beberapa waktu yang lalu, dalam forum kajian muslimah pernah ada yang berkata: “Bagaimana kita ingin masuk syurga jika tak pernah tahu kisah hidup orang-orang yang Allah jamin masuk syurga. Belajarlah dari tiap shahabiyah wanita penghulu syurga.. Jika ternyata itu pun masih sulit coba mengambil inspirasi dari muslimah yang hidup sezaman dengan kita, ialah permata tarbiyah: Almh. Ustadzah Yoyoh Yusroh.” Iya, terkadang aku pribadi sering berdalih. Menyuguh berbagai alasan susahnya mendekati pencapaian shahabiyah karena berada pada zaman yang berbeda. Perjalan hidup Ustadzah Yoyoh menyirat ketegasan, bahwa muslimah bukan yang mencari-cari udzur melainkan harus memusnahkan udzur. Salah satunya, tak ada penghalang batasan waktu untuk menjadi muslimah kesayangan-Nya, insyaAllah setiap kita pasti bisa mencapainya. Beliau telah membuktikannya.
            Sejujurnya, saat mendengar lagu ini, mengingatkan kembali pada sebuah kerinduan. Rindu yang sempat tertahan. Rindu akan sosok permata tarbiyah. Rindu pada potret muslimah yang mempesona dengan akhlaknya. Dulu, tujuh tahun yang lalu. Tak kulupa perjumpaan dengan mereka yang sekarang kusebut juga ‘permata tarbiyah’. Aku lebih dulu jatuh hati pada mereka. Menaruh kekaguman dan belajar menetapkan standar diri sebagai muslimah. Pada seorang Ummahat yang punya 3 anak, tak pernah terlambat menghadiri halaqoh bersama jundi2nya, tampilannya pun selalu rapi dan wangi, ia tak pernah absen dalam agenda-agenda dakwah. Tiap bersua yang kuharuskan adalah memberi senyum termanis padanya yang kusebut istimewa. Kemudian aku juga merindukan seorang Mb yang mengajar bagaimana mencintai Allah dengan sebenar-benar cinta. Kalimatnya yang selalu teringat “Bahwa sebenarnya mencintai Allah bukan hal yang mudah, kita belajar berproses mencintai-Nya.” Bukan hanya perkataan lembutnya yang kudamba, tapi hadirnya. Aku selalu ingin bertemu dengannya, menatap sinar di wajahnya kemudian kadang tak sengaja mengamati kelopak matanya yang merah, selalu memerah. Seperti kisah sahabat yang selalu menagis karena takut pada Allah digambarkan matanya seperti terompah kusuh, hitam merah padam, begitu pun ia. Terlalu sering kuselip namanya dalam munajat, sebagai washilah. Agar aku bisa sepertinya mencintai Allah, terkadang jauh berharap melebihi dirinya.
            Merekalah bagiku permata, yang sederhana tapi berbuat luar biasa. Kusebut permata karena mereka memang bercahaya. Aku yang merasakannya ketika bersama. Selalu memetik hikmah ketika bersua. Benar berkumpullah dengan dia yang sholehah maka kau tahu bagaimana belajar menjadi sholehah, kau juga terinspirasi lewat semangatnya untuk menjadi shalehah. Kau akan selalu menggebu mencapai shalelah.. Kusebut mereka permata karena mereka tersimpan, tak banyak yang mengenal. Akan terlihat bagi yang mengamati lekat-lekat. Kusebut permata karena ketika rasa gundah gulana melanda cukup dengan memvisualisasikan mereka saja menjadikan aku malu jika berlama-lama terkungkung dalam rasa itu. Mereka permata, yang begitu berharga.
            Seringnya terlalu rindu pada mereka. Walau tak dipungkiri begitu banyak kujumpa permata setelahnya. Sampai saat ini, masih berada di sekelilingku dan tak dapat kusebut mereka satu persatu. Iya, permata itu kini begitu banyak Allah tebarkan. Cahayanya bertaburan. Membuat langkah semakin mantap melewati jalan ini. Begitu besar anugrah yang Ia berikan. Pintaku adalah agar nikmat perjumpaan dengan mereka tak hanya sebatas di dunia, tapi juga di akhirat kelak dalam naungan-Nya. Persis seperti pesan terkahir yang ia titip dalam Lagu Permata Tarbiyah, insyaAllah kita bertemu di syurga. Semoga dipertemukan Allah di surga-Nya. Narob bun fil jannah.
  
Ya Allah tolong beri kekuatan untuk mengejar amaliyah mereka sehinga aku layak bertemu mereka bahkan bisa berbincang dengan mereka ditaman firdaus-Mu

***
Terkadang dalam cerminan,
Setiap orang mengutuk kegelapan tapi tak banyak yang berusaha menyalakan terang
Rutinnya disibukkan pada berbagai tuntutan, nyatanya enggan terdepan dalam keteladanan
Jika bertemu permata,
Seketika kita berubah
Semangat menjadi cahaya walau redup sekalipun
Bergairah memberi qudwah meski begitu payah rasanya

Berteman kebeningan qolbi, Istimror ilallah

Senin, 27 Mei 2013


Memoar Biru
           
                                    Jika melirik biru
                                    Pasti kau tahu
                                    Tentang kisahnya yang menyejarah
                                    Anggunnya bak belantara

Layaknya aku
Takjub, terpikat, terpesona, tersyukur
Dia si biru
Mengubah dari warna abu-abu
Memberi cerah pada keredupan
Madrasah  sebuah makna perjuangan

                                    Aku yang paling tahu tentangnya
                                    Yang  punya cita besar untuknya
                                    Yang paling kesal jika ada yang tega menyakitinya
                                    Walau
                                    Tak pernah semua tampak, terekspresikan
                                    Selalu terkunci dalam diam
                                    Merapat pada kesunyian
                                    Terpenjara dalam ruang harapan

Pernah ingin tertanya
Sekedar mendengar kau bicara
Tapi tak usahlah
Lebih baik kau  diam saja
Menahankan birumu
Tak kuat  nantinya mendengar kesahmu
Tak mampu menghiburrmu

                                    Terekam  kurang dari sewindu lalu
                                    Terkoar namamu
                                    Mengharu biru
                                    Meski pernah tak terlalu dulu
                                    Ada yang perih menyayat kalbu
                                    Tentangmu,
                                    Begitu mengusikku,
                                    Menyisa pedih berjuta hikmah
                                    Saat warna lain yang bercerita

                                    sedang biru hanya diam
                                    Bukan pertanda kau hitam, padam
                                               
Untuk kesekian kalinya
Dalam diam tetapku percaya
Walau bukan lagi aku yang paling tahu
Walau terkalahku dengan besar pengorbanan lain padamu
Walau mungkin kini aku lebih acuh
Tenanglah, kau pasti tersenyum lega
Cukup percaya saja
Banyak mata pena tajam di sekelilingmu
Bertabur busur panah menjagamu
Mereka yang paling tahu
Paling mengerti memperlakukanmu
Yang menyadarkan
Bukan cinta jika tanpa amal
Sungguh, tak jadi heroik dalam keterpakuan