Rabu, 20 November 2013

Peran (an)

Menyampaikan sesuatu yang sifatnya teori ternyata  kadang kala membuat bosan. Dalam kelas, diam. Gambarannya tak jauh-jauh dari  satu orang menjelaskan kemudian yang lain mendengar. Syukur sekali semuanya mau mendengar, terkadang yang lain mengantuk lalu tertidur, ada yang bicara pada diri sendiri dan tak lama kemudian butuh lawan bicara lalu mengajak temannya mengobrol. Tapi yang terpenting selalu masih ada saja mereka yang membuat bersemangat masuk kelas. Yang matanya berbinar-binar saat sedang dijelaskan, yang terbukti sekali menyimak dengan seksama lewat pertanyaan-pertanyaan kritisnya, yang mengangguk antusias pertanda mulai memahami, yang tak berkedip as a sign mereka memperhatikan (meski hanya 1,2 saja), yang …, dan yang lain-lain. Terlepas dari itu semua, variasi respon yang mereka tunjukkan selalu memberi warna.
            Pun saat  kelas cerpen, yang KD nya mengharuskan terlebih dahulu mereka faham tentang konsep, dan itu pun sebuah teori. Siap-siap lagi menerima berbagai respon (ekspresi kejumudan). Wajar saja sebenarnya, karena yang dikedepankan selalu metode konvensional, yang itu-itu saja. Sedang mereka butuh suasana berbeda, yang bisa mengakomodir varian potensi tersembunyi yang dimilki dalam tiap-tiap pribadi..
 Saat menjelaskan terhenti pada unsur intrinsik cerpen karena ada yang bertanya perihal tokoh,penokohan dan watak tokoh.
“Kalau tokoh berwatak baik disebut protagonist, tokoh berwatak tak baik disebut antagonis, tokoh figuran yang netral sebutannya tritagonis, lalu bagaimana dengan tokoh yang awalnya jelek tapi pada akhir cerita ia berubah menjadi baik?”
Pertanyaan yang bagus dan ternyata ia jubir untuk teman-temannya.
Seketika terpikir tokoh insyaf tapi tak ada kategori itu, kemudian kujawab, “Kategorinya protagonis”. Fokusnya pada akhir cerita dan sifat tokoh yang mau mengakui kesalahan. Setelah itu tak muncul pertanyaan lagi.
            Yang agak rumit bagaimana kalau pertanyaannya sedikit diubah. Entahlah apakah terlintas dalam pikir mereka. Bagaimana andai tokoh protagonist yang selalu berperilaku baik, namun di penghujung ia melakukan kesalahan dan cerita pun berakhir. Apa sebutan untuk tokoh ini? Lantaskah disebut antagonis karena berfokus pada kesalahannya di akhir cerita?
Ya, dialah antagonis. Karena dalam cerpen begitu kecil sekup yang bisa kita amati. Cukup soroti alur cerita yang habis sekali baca. Lalu jawabnya, ia antagonis. Tepat dan tak melesat.
            Akan tetapi itu dalam cerpen. Semua penjelasan ringkas itu hanya pantas dan berlaku dalam cerpen. Tak sama dengan dunia nyata yang terdiri dari ribuan bahkan jutaan keping mozaik. Kemudian itu bisa kita hubungkan dan rangkai agar menjadi sesuatu yang utuh. Tak serupa dengan cerpen yang tak pernah bersambung. Apalagi jika pada bahasan analisis  watak tokoh. Tak adil mewacanakannya.
            Lalu jika dalam perjalanan yang pemainnya adalah Aku, Dia, Kamu, mereka.. Kita bersama. Aku nyaris tak pernah salah. Aku serupa tokoh protagonist sejati dalam cerpen. Sedang yang lain, tak tetap. Yang lain manusiawi sekali. Kadang pernah khilaf, lewat tatap sinis, lisan yang tajam, atau perilaku yang kurang menyenangkan. Dan aku, aku tak pernah menampakkan itu. Walau tak dipungkiri prasangka hati sering datang bertubi-tubi. Tapi tetap saja bagi yang lain akulah protagonist  dalam perjalanan ini, keyakinanku yang sangat mengatakan itu.
            Selain aku di sini, juga ada Kau, Dia, dan Mereka. Cukup membahas aku, yang sudah begitu tampak protagonisnya. Tentang Kau atau Dia atau mereka. Tak peduli siapapun itu, kalian bukan protagonist sejati. Kalian hanya insan biasa, yang sering kujumpai khilafnya. Entah Kau, Dia, atau Mereka. Sama saja kupikir. Walaupun kita memulai perjalanan ini dengan visi yang sama, uraian target terencana, keyakinan membaja, melewati suka dan duka bersama, kita melandasinya dengan kepercayaan penuh, Tapi, jika di tengah kayuh kita kemudian kalian melakukan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan dan kuanggap itu kesalahan. Maafkan, aku anggap kalian  salah. Kalian ternyata tokoh antagonis dalam cerpen. Tak perlu perhitungan dan timbang lain.
            Aku lalu melupakan peranan besar yang telah kalian lakukan dengan ikhlas, yang tak bisa lagi dibalas. Saat yang lain meninggalkan, nyatanya kalian tetap tegar berjuang. Tapi, Cara pandang itu seketika berubah karena ketidakpercayaanku atas kelakuan yang kalian buat itu. Aku yang protagonist ini, tak perlu pusing-pusing mencari alasan mengapa hal itu dilakukan. Karena bagiku, sekaliber kalian tak perlu ditolerir lagi, tak butuh. Aku juga tak usah introspeksi diri, toh aku protagonist. Tak pernah dikritik, selalu didengarkan, pembawa solusi, dan lain-lain. Tak ada yang perlu dikoreksi kan.
            Maka dengan kesalahan kalian yang tak bisa diukur besar atau kecilnya, menimbulkan kekecewaan yang sangat membekas. Entahlah, walau ada suara bening mengatakan:
“Jika mereka tertekan dan tak bisa mengungkap sesuatu padamu, maka kau tak benar”
“Andai sikapmu menjadi pembatas mereka menyampaikann kebenaran, kau salah”
“Salah jika menyimpulkan dan tak mencari kebenaran”
“Apalagi merasa selalu benar, itu jelas kesalahan besar”
            Pada akhir perjalanan nanti semua ingin menjadi protagonist. Menjadi baik dan selalu melakukan kebaikan. Jangan tanya sampai kapan aku mengecap antagonist pada kalian? Atas khilaf kalian. Aku si protagonist ini pun tak tahu menjawabnya. Mungkin, saat yang Maha mencipta menyadarkan alangkah berkah andai menjalani hidup dengan penuh kesadaran.. Sampai Ia menerangkan kebenaran. Bahwa ternyata mungkin aku yang antagonist. Mungkin, entahlah..

Perjalanan antara Aku, Kau, Dia, Mereka. Andai kalian pikir ini perlu jeda? Baiklah.
Itu saja…       
           
***

            

Sabtu, 09 November 2013

Udzunuw Waa'iyah

        Pernah berkesempatan ikut dalam majelis ilmu yang memfasilitasi belajar tafsir qur’an secara muttawatir. Pada saat itu surah yang dibahas adalah surah Al-Haqqah. Surah ke ke-69, terdapat pada juz 29. Diturunkan sebelum hijrah dan terdiri dari 52 ayat.
            Melihat dari namanya kita tahu bahwa surah Al-Haqqah secara umum tentunya menceritakan tentang gambaran hari kiamat. Sama seperti kandungan surah Al-Qiyamah, Al-Insyiqaq, At-Takwir, Al-Waqi’ah, Al-Ghasiyah, Al-Qori’ah, dan Al-Infithar yang secara bahasa adalah nama atau ragam kata yang artinya adalah hari kiamat. Pada surat-surat tersebut Allah menceritakan bagaimana gambaran hari akhir nantinya dan kesudahan keberadaan manusia sesuai porsi amaliyahnya selama di dunia. Namun ada satu ayat yang memberi ibroh berbeda dalam penyampaian ustad kala itu. Saat membahas tafsir ayat ke-12.
           Terjemahnya “Agar kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mendengar”. Lalu diceritakan, saat Rasululullah Muhammad SAW mendapati wahyu ini, beliau dengan segera mendo’akan sepupu tercinta Ali Bin Abi Thalib agar Allah menggolongkannya sebagai hamba yang memilki telinga yang benar-benar mendengar (Udzunuw Waa’iyah). Dan menurut ahli tafsir, perantara do’a Rasul itu menjadikan Ali Radhiallahu ‘anhu sebagai sahabat yang begitu peka pendengarannya dan tak lupa sedikit pun tiap perkataan yang disampaikan Rasulullah padanya.
            Alhasil pada kesempatan itu, seluruh ummahat yang mengikuti kajian meminta ustadz menuliskan ulang do’a Rasul teruntuk Ali. Terlihat mereka begitu semangat. Sekedar menebak mungkin do’a tersebut akan ditujukan pada jundi-jundi kecil mereka selain tentunya mengharapkan hal yang sama terhadap diri. Pada harapan besar teruntuk buah hatinya, agar seperti Ali r.a. yang dianugrah udzunuw waa’iyah.
            Kemudian melihat antusias itu yang terpikir adalah betapa sensitifnya Rasululullah. Teramat mulia lisannya. Tentang do’a indah yang dilantunkan. Spesifik dan jarang terpikirkan. Dari beliau kita belajar makna sebuah pinta, tidak abstrak melainkan yang dekat dan begitu dibutuhkan. Perihal do’a yang hakikatnya dimunajatkan, bukan disimpan dalam hati atau hanya jelmaan keinginaan.    
            Di tahun baru Hijriah ini yang memasuki angka ke-1435, setelah memuhasabah diri kita tentu terbiasa membuat resolusi hidup, capaian, targetan dalam kurun waktu yang kita batasi sendiri. Terkadang terpikir lalu digoreskan agar kita tak lupa dan selalu mengiangkannya.
Tapi mungkin sedikit pengingat adalah,
Setelah terpikir dan terencana sempurna
Sudahkah itu dimintakan kepada Allah secara santun lewat do’a indah
Rutinkah semua disampaikan dalam tiap munajat pada-Nya?
Lalu perkara keyakinan akan ijabah pinta kita
Semoga tak menjadi yang lupa pada kekuatan do’a
Tergolong udzunuw waa’iyah
berusaha peka dalam segala hal
Bahkan menjadi pribadi yang teramat peka dalam segala hal

Meminta untuk sebaik-baik do’a 

      Bahkan mungkin teruslah selalu berdo'a. Hingga bukan hanya isi do'anya, tapi do'a itu sendiri yang menjadi hajat dan nikmatnya menghamba pada Allah. Moga Ia bimbing kita memahami kalam-Nya, ketika hari ini banyak kecenderungan membelenggu ayat dengan judul dan kerangka. (Salim A. Fillah)