Salamatush
Shadr. Kukenal kata itu tiga tahun yang lalu. Saat tak sengaja membuka
lembaran pekanan saudara perempuanku. Dijelaskan bahwa kumpulan huruf itu
menempati tingkatan ukhuwah terendah menurut Imam Syahid hasan Al-Banna, jika
dibanding dengan husnudzhon dan itsar. Kala itu kuyakin merasa faham
memaknainya, tanpa merujuk konteks. Dengan coba sedikit berspekulasi, kuterjemahkan kata ini sepadan dengan
tenggang rasa. Materi yang begitu familiar ketika belajar PPKn di bagku SD.
Tenggang rasa kepada sesama, apapun kondisinya. Kala sedih apalagi waktu
bahagia.
Terjemahan kilat itu mungkin bisa
jadi benar, tapi tidak sepenuhnya. Karena kalau kita coba memahami dengan
konteks, banyak sekali ilmu yang akhirnya menjadi tak sempurna jika kita hanya
terhenti pada ranah teoritis tanpa menghantarnya pada ruang praktis. Aplikatif,
ya ilmu terapan. Termasuk materi satu ini, yang menuntut kita untuk merasa tak hanya berkata.
Aku sebenarnya hanya ingin
memaparkan kedhoifanku. Yang begitu
terbatas memahami ilmu, yang tak terbatas diajarkan-Nya, yang begitu luas
dihamparkan-Nya. Lapang dada tak serupa tenggang rasa. Karena ranahnya
berbeda, antara akhlak dan moral yang sebenarnya juga tidak arif jika
dikomparasikan. Tenggang rasa muncul oleh dorongan simpati pada sesama sedangkan
salamatush shadr timbul karena mahabbah
pada-Nya. Lapang dada menjadikan muslim mukhlisin pada ketentuan yang dihadapi.
Berkaitan dengan saudara, karena sekali lagi ini bahasan ukhuwah.
Kembali merujuk yang disampaikan
Imam Syahid Hasan Al-Banna, lapang dada adalah tingkatan terendah dalam
ukhuwah. Sesungguhnya sangat berkaitan dengan respons seseorang terhadap apa
yang sedang menimpa saudaranya. Apapun keadaan yang terjadi, salamatush shadr
mengajarkan kita empati. Bersuka kala ia bahagia, pun sebaliknya ikut
menanggung jika saudara seiman kita sedang bersedih. Mungkin mudah jika kita saling memebersamai. Tapi bagaimana
kalau kondisinya tak ideal? Kita punya peluang yang sama untuk bahagia tapi
Allah memberikan kesempatan saudara kita terlebih dahulu yang dapat meraihnya.
Sedang kita harus mengencangkan ikhtiar lagi untuk hal yang sama mencapai
takdir baik-Nya, mudahkah berlapang dada? Inilah mungkin letak salamatush shadr
yang sesungguhnya.
Nyatanya tak mudah menyamakan rasa
ketika kita tak berada pada temperature
yang sama. Tapi ini sesungguhnya tak berbelit. Hari ini dengan seizin-Nya itu
kemudian terjadi padaku. Tepat hari ini Allah menguji apakah berhak aku lolos
pada tingkatan ‘rendah’ dalam ‘arena’ ini? Jujur, seakan aku memulai semuanya
dari awal tepat saat pertama aku terarah ke jalan ini. Ada yang salah ketika
aku tak berbahagia kala saudara seimanku bersuka cita. Walau tak ada sedikit
pun muncul iri dalam hati (na’udzubillah, tolong jauhkan Rabb), tapi nurani
tegas mengatakan aku tak seharusnya begini. Tak ahsan jika aku belum juga bisa bahagia. Sungguh tercela aku berdiam
saat yang lain menggembirakan.
Kufahami kembali Rabbi, engkau
pemilik hati kami. Mudah bagimu untuk membolak-baliknya. Tak susah untuk-Mu
gelap atau meneranginya. Kau sadarkan aku, sungguh mukmin itu satu tubuh. Tak
terbesit sedikit pun untuk melukainya, fagh
firlii. Aku malu, terkadang lupa pada senyuman paling manis dari hati yang
menjadi hak saudariku, lupa pada malaikat yang senantiasa mengaminkan do’a si
pendo’a yang begitu mencintai saudaranya, lupa pada jalinan tali tasbih muhajirin dan anshor, lupa pada kisah Abu Bakar yang begitu
lapang pada rasul ketika meminang Hafsah, lupa pada Khalid saat digantikan Abu
Ubaidah, aku lupa Allah, lupa pada firmanMu (q.s Al-Anfal:63), pada ridhomu
bagi orang yang saling mencintai karena-Mu. Aku lupa, dan ternyata belum mampu
memaknai semua itu.
Terang. Semuanya menjadi indah karena prasangka baik kita. Lewat qolbu yang mesti selalu ikhlas dan husnudhon senantiasa, yakinlah semuanya akan terasa mudah. Bi idznillah. Tegas, tak ada alasan lain untuk tak membahagiakan saudara yang
sedang berbahagia. Apapun kondisinya. Karena sungguh, tak ada kesejukan lebih
yang hadir saat senyum itu merekah. Aku bahagia, karena kami satu tubuh. Ia
diriku, kita satu.. Aku mesti menata hati kembali, mungkin ada yang salah dalam
diri ini. Tapi sungguh Rabbi, kusadari hari ini moment tak terlupa. Aku bahagia
karena-Mu, sungguh..
“Fabima
Rohmatim minallaha linta lahum”