Sabtu, 21 September 2013

Ro_Na



              Goresan kali ini sekedar mengumpulkan kepingan kecil yang terserak. Agar tak hilang tercampur sia. Rona beberapa hari lalu terasa agak tak biasa. Saat dalam perjalanan tak sengaja menangkapnya. Pada Ibu paruh baya, yang semenjak awal menatap matanya, tertaruh rasa curiga. Curiga padanya yang menurutku begitu tak lazim disenyum ramah oleh hampir tiap petugas angkutan kota hari itu. Curiga padanya saat ia dengan mudah diberi keistimewaan tak typing (tanpa biaya) saat bergabung naik angkutan dengan kami. kecurigaan itu bertambah saat Ia ingin membeli saldo pada smart cardnya tapi petugas tak mengizinkan, malah memintanya langsung transit tanpa typing (lagi). Kembali curiga padanya saat ia menyapa dengan senyum ramah padaku. Dasar aku selalu curiga..
            “Ada pecahan 50rb nak?” Kalimat pertama yang kudengar lewat lisannya. Telah selesai kujawab, walau masih samar setidaknya aku tahu kurang lebih siapa ibu ini.. Ialah wanita yang hafal jam berapa keberangkatan awal dan kapan waktu-waktu bus yang kami tumpangi ini beroperasi. Ia selalu berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Anyaman sangkek yang terpegang erat ditangannya seolah menjadi saksi perjuangan ibu ini. Pulang-pergi, pagi-malam hari, dari sana ke sini.
            Dan ketika bus jurusan kami menghampiri, sengaja kupilih duduk tepat di sampingnya. Entah, kali ini bukan karena aku masih curiga. Seperti magnet saja, aku mengejar rona. Ibu itu pun mulai bercerita perihal rutinitasnya. Kemudian tentang bumbu, bahan makanan, resep memasak dan lain sebagainya. Dalam hati aku makin percaya keputusan yang tepat jika ia telah memilih membuka warung nasi sebagai pencaharian utama. Walau terkategori jauh jarak yang harus ditempuh ibu ini, tepatnya halte pemberhentian ujung di perbatasan kota. Tapi dengan jelas guratan di wajahnya menegaskan itu tak masalah. Dia juga menceritakan tentang sopir dan kondektur yang menjadi langganan masakannya, yang kadang-kadang menghutang pulsa. Manusiawi, wajar petugas bus ini banyak yang kenal dengannya.
            Sambil tetap tersenyum, lisannya begitu fasih melanjutkan cerita. Tentang shalat jamak-qoshor yang ‘terpaksa’ dilakukan karena sibuknya melayani pembeli. Karena tak sanggup menggaji pegawai jadilah ia sendiri. Tersebab itu ia pun mengandalkan kejujuran pembeli saat membayar makanan. Karena akan melelahkan sekali jika tiap meja harus diawasnya satu persatu. Jalan mulai ramai kala itu, musik yang diputar berkolaborasi dengan bunyi mesin mobil yang dipacu kecepatan tinggi membuat suara Ibu itu pun jadi tak jelas. Dan aku mulai memberi respon monoton, tersenyum lalu mengangguk antusias.
            “Masih kuliah atau kerja?”, pertanyaannya kali ini seakan menuntut giliran, meminta aku yang berbicara. Mungkin karena ekspresiku yang begitu-begitu akhirnya ia balik bertanya. Demi merespon ulang jawabanku, rona itu semakin terpancar. Bagaimana pengetahuan yang ia bagi ihwal parenting. Nasihatnya seputar psikologi remaja. Tentang kesungguhan dan kesabaran bekerja juga tak luput tersampai dari lisannya. Kontekstual sekali ibu, seperti ahli. Bahkan mungkin kaulah sesungguhnya yang berilmu. Padahal hari-harimu berkutat di bus dan warung nasi yang mesti selalu dijaga. Beberapa cerita perih yang ia sampaikan di ujung pertemuan makin menjadikannya rona. Yang kutangkap singkat tapi banyak menebar hikmah..
*******

Begitulah. Kadang kita masih tak syukur diketengahkan pada pilihan yang begitu banyak, sedang di luar sana mereka cenderung terbatas pilihan dalam memutuskan.
Beruntungnya menjadi orang yang tak selalu bincang agama, tapi diri selalu mendapat tausiyah darinya walau tak terlisan.
Dan seputar rona. Tangkap dan maknai ia sedalam-dalamnya. Betapa penting. Merasakan sendiri bagaimana langsung jatuh hati pada orang yang baru pertama kali ditemui. Semoga keberkahan-Nya selalu mengiring, menjaga dan menemani.
Untuk ia yang disebut rona