Senin, 30 Desember 2013

Beranjak Senja


            Kalimat akhir pada cerita itu adalah “Wajahnya berseri dengan senyuman.”. Tentang cerita beberapa pekan lalu, yang baru pertama kali kudengar. Begitu haru menyimaknya, jujur menyelinap rasa bangga dengan sepotong kisah itu. Bangga karena ditakdirkan memiliki nasab yang sama dengan sosok yang diceritakan. Tepatnya mungkin merasa beruntung.
            Nenek yang tiba-tiba menceritakan, tentang saudara perempuannya. Ia punya banyak kelebihan dan menjadi yang paling tawadhu dalam keluarga. Masa kecilnya yang pekerja keras, penyabar dan tak kenal mengeluh dengan kehidupan di pelosok (Dusun) yang serba sulit. Ia juga begitu ikhlas, saat nenek ‘melangkahinya’ untuk terlebih dahulu menikah, dengan kondisi dahulu yang pemaklumannya tidak seperti sekarang. Selang 5-6 tahun setelah itu, barulah ia pun menyusul. Kekaguman pada sosok yang ingin sekali kulihat wajahnya ini semakin bertambah, saat nenek memberitahukan tentang tutup usianya. Ia meninggal saat melahirkan anak kedua. Dengan usia kandungan yang belum genap, saat-saat kritis itu pun masih sempat ia lewati dengan menggendong anak pertama yang kala itu menangis. Bisa dibayangkan. Sampai akhirnya, ia menemui husnul khotimah. Bersama satu nyawa lagi yang masih dalam kandungan.
            Sepotong tulisan ini tak akan bisa mewakili seutuhnya tentang segala kebaikannya. Ia meninggal dengan syahid, kondisi akhir yang selalu menjadi do’a setiap muslim. Harus kutuliskan kembali betapa aku merasa beruntung menjadi salah satu ‘cucunya’. Menjadi bagian dari keluarganya, walau tak sempat menatap wajahnya atau setidaknya melihat dirinya dalam foto. Kisah hampir setengah abad yang lalu ini kemudian menjadi inspirasi. Bahwa hakikatnya, akhir hidup itu sebanding dengan bagaimana proses kita melaluinya. Memulai, menjalani, lalu mengakhiri. Dan mungkin yang menjadi esensi adalah sejauh mana kesiapan kemudian mempersiapkannya.
            Malu sekali jika mengingat masa-masa di mana saat bincang ihwal kematian, yang ada bukan menghayatinya dengan penuh keinsyafan malah biasa saja kadang tertawa riang seolah tak mengacuhkannya. Tema yang sangat tak popular. Seolah jauh dari maut, bahkan tak sadar jika setiap jiwa akan merasainya. 
Begitu pun di setiap waktu, kadang timbul keengganan untuk sekadar mengingat kepastian itu karena kecintaan terhadap dunia yang kian hari kian bertambah. Memenuhi relung hati. Karena tanpa meminta persetujuan pun ternyata kesibukan dunia memang menyita waktu-waktu kita. Seringnya membuat lupa. Mengutip syair edcoustic “Pagi, siang, malam dunia yang kutuju.”.
            Banyak kesaksian dari orang-orang terdekat seputar kematian. Tentang kondisi mereka yang hampir dimangsa binatang buas, nyaris tertabrak mobil, hampir tenggelam, dan sampaian lain yang membuat mereka kemudian tersadar. Mungkin kita pernah atau nanti juga mengalami hal serupa. Dengan itu Allah menginginkan agar kita faham antara fana dan kehidupan kekal punya batas yang amat dekat. Sebegitu dekatnya dengan keseharian yang selalu menemani.
            Kematian akan menghampiri siapa saja. Tak kenal usia, status sosial, atau gelar keduniawian yang tak kan mendatangkan maslahat nanti. Kurang lebih itulah yang ditulis almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh. Segalanya mesti dipersiapkan, terlebih untuk hal yang pasti ini, walau tetap akan menjadi rahasia kapan tiba saatnya. Bukan sekadar untuk ditakuti sebab ketidakberdayaan kita. Karena hidup bukan tentang lama, tapi bagaimana menggunakannya. Semoga kita selalu mengharapkan, memunajatkan, merencanakan husnul khotimah. Bi izdnillah…

“Hari telah beranjak senja. Adakah usia kita juga sama? Sedang merayap senja.. dan kita tidak pernah tahu batas usia kita?”
(Moh. Faudzhil Adhim)