Senin, 08 Oktober 2012


Sejenak Berhenti Mengkritisi

            Tidak berhasil, gagal sepertinya menjadi stempel yang selalu diberikan pada setiap agenda dakwah yang kita lakukan. Terlalu sering dan mudahnya kita mengucap ini gagal, tak berhasil atau makna sejenisnya. Tak jarang juga penilaian ‘gagal’ disertai dengan statement yang meremehkan begitu enteng diucap padahal sama-sama didasari tak mungkin kita dapat merasakan kegagalan kalau tanpa adanya usaha atau amal yang dilakukan sebelumnya. Kegagalan begitu sempit dimaknai, karena bisa jadi kegagalan itu muncul setelah banyak torehan keberhasilan yang dilalui.
            Ya, bisa jadi, kegagalan datang setelah banyaknya keberhasilan yang ditorehkan. Untuk yang berpikir instan mungkin ini tetaplah sebuah kegagalan. Analogi sederhana adalah ketika dalam sebuah kompetisi sepakbola, pergelaran Euro tahun ini misalnya, yang menghantarkan Spanyol sebagai jawaranya. Gelar tersebut diraih setelah mengalahkan Italia di partai puncak. Pertanyaannya adalah apakah Italia gagal? Sebagian besar mungkin kecewa dan bahkan ada yang mencibir kesebelasan ini. Tapi sesungguhnya Italia telah berhasil menasbihkan diri sebagai tim yang masuk dalam pertarungan final itu sudah luar biasa. Mereka lolos babak kualifikasi, penyisihan grup, perempat final, semi final hingga final itu merupakan torehan keberhasilan yang tentu tidak dapat dianggap sepele. Italia telah melewati banyak keberhasilan sebelumnya.
            Pun begitu dengan agenda-agenda dakwah. Sering berujung pada penilaian instant: targetan tidak tercapai, belum memuaskan, agendanya gagal! Kalau saja kritisi semacam ini selalu digembor-gemborkan apakah akan memberi dampak yang baik untuk perkembangan dakwah? Bukan bermaksud untuk menghilangkan esensi dari sebuah evaluasi tapi penggiat dakwah mestinya perlu memandang secara menyeluruh tak terbatas pada satu sisi. Banyak capaian dakwah yang masih menjadi mimpi beberapa tahun lalu dan bisa terwujud sekarang ini, itu juga harus diinsyafi. Terkadang kita mesti mengingat keberhasilan itu, agar menjadi penyemangat diri. Karena kaidah dakwah yang diajarkan Rasulullah adalah menggembirakan bukan membebani. Rasul selalu memberikan busyro (berita gembira) pada para sahabat, inilah kemudian yang menjadi pemantik untuk mereka bersemangat dan termotivasi, kita pun memerlukan itu.
            Memang selalu ada kekurangan pada tiap agenda dakwah yang kita jalani, karena dari sana kita belajar menyempurnakan. Dan sesungguhnya bukan semata-mata hasil yang jadi parameter sebuah keberhasilan, tapi amal. Seperti kalamullah dalam At-Taubah 105:

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan [At-Taubah : 105].
Titik tekannya adalah beramal,bekerja. Bukan pada hasil yang didapat. Karena jika orientasi kita adalah pada hasil mungkin Nabi Nuh a.s dikatakan ‘gagal’ karena selama 950 tahun berdakwah hanya beberapa saja yang jadi pengikutnya, Nabi Zakaria ‘gagal’ karena beliau dibunuh oleh kaum yang didakwahinya, keluarga Yasir juga bisa dikatakan ‘gagal’ karena keislaman mereka berujung pada pembantaian oleh kafir quraisy. Namun mereka berhasil menginspirasi da’i setelahnya untuk tetap giat berjuang mentauhidkan Allah.
            Sekali lagi tugas kita adalah beramal, mastatho’tum (At-Thaghoobun: 16) urusan hasil biarlah menjadi hak peogratif Allah. Kerena ketika kita disibukkan dengan amal itulah makna keberhasilan sejatinya. Kapan dan di mana kemenagan itu Allah berikan terkadang tidak kita perkirakan sebelumnya. Yang pasti dan harus diyakini kemenangan hanya Allah berikan untuk orang-orang yang berusaha, bukan sebaliknya. Tiap usaha fitrah menemui kegagalan. Tapi kegagalan sebenarnya adalah ketika kita tidak beramal sama sekali (Ust. Abdullah Haidir L.C)
            Maka sekarang kita harus berhenti jika hanya terfokus pada kritisi dan saling melemahkan. Tugas kita untuk memotivasi dan saling menyemangati. Jangan biarkan langkah kaki terhenti hanya karena kritik-kritik tak bertujuan. Tegar seperti syair nasyid “Bingkai Kehidupan”. Tetaplah menyongsong visi. Biar Allah sebagai saksi atas amal yang kita lakukan karena-Nya, bi idznillah.