Sejenak Berhenti Mengkritisi
Tidak
berhasil, gagal sepertinya menjadi stempel yang selalu diberikan pada setiap
agenda dakwah yang kita lakukan. Terlalu sering dan mudahnya kita mengucap ini
gagal, tak berhasil atau makna sejenisnya. Tak jarang juga penilaian ‘gagal’
disertai dengan statement yang meremehkan begitu enteng diucap padahal
sama-sama didasari tak mungkin kita dapat merasakan kegagalan kalau tanpa
adanya usaha atau amal yang dilakukan sebelumnya. Kegagalan begitu sempit dimaknai,
karena bisa jadi kegagalan itu muncul setelah banyak torehan keberhasilan yang
dilalui.
Ya, bisa jadi, kegagalan datang
setelah banyaknya keberhasilan yang ditorehkan. Untuk yang berpikir instan
mungkin ini tetaplah sebuah kegagalan. Analogi sederhana adalah ketika dalam
sebuah kompetisi sepakbola, pergelaran Euro tahun ini misalnya, yang menghantarkan
Spanyol sebagai jawaranya. Gelar tersebut diraih setelah mengalahkan Italia di
partai puncak. Pertanyaannya adalah apakah Italia gagal? Sebagian besar mungkin
kecewa dan bahkan ada yang mencibir kesebelasan ini. Tapi sesungguhnya Italia
telah berhasil menasbihkan diri sebagai tim yang masuk dalam pertarungan final
itu sudah luar biasa. Mereka lolos babak kualifikasi, penyisihan grup, perempat
final, semi final hingga final itu merupakan torehan keberhasilan yang tentu
tidak dapat dianggap sepele. Italia telah melewati banyak keberhasilan
sebelumnya.
Pun begitu dengan agenda-agenda
dakwah. Sering berujung pada penilaian instant: targetan tidak tercapai, belum
memuaskan, agendanya gagal! Kalau saja kritisi semacam ini selalu
digembor-gemborkan apakah akan memberi dampak yang baik untuk perkembangan
dakwah? Bukan bermaksud untuk menghilangkan esensi dari sebuah evaluasi tapi
penggiat dakwah mestinya perlu memandang secara menyeluruh tak terbatas pada
satu sisi. Banyak capaian dakwah yang masih menjadi mimpi beberapa tahun lalu
dan bisa terwujud sekarang ini, itu juga harus diinsyafi. Terkadang kita mesti
mengingat keberhasilan itu, agar menjadi penyemangat diri. Karena kaidah dakwah
yang diajarkan Rasulullah adalah menggembirakan
bukan membebani. Rasul selalu memberikan busyro (berita gembira) pada para
sahabat, inilah kemudian yang menjadi pemantik untuk mereka bersemangat dan
termotivasi, kita pun memerlukan itu.
Memang selalu ada kekurangan pada
tiap agenda dakwah yang kita jalani, karena dari sana kita belajar
menyempurnakan. Dan sesungguhnya bukan semata-mata hasil yang jadi parameter
sebuah keberhasilan, tapi amal. Seperti kalamullah dalam At-Taubah 105:
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu
diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan [At-Taubah : 105].
Titik tekannya adalah beramal,bekerja. Bukan pada hasil yang
didapat. Karena jika orientasi kita adalah pada hasil mungkin Nabi Nuh a.s
dikatakan ‘gagal’ karena selama 950 tahun berdakwah hanya beberapa saja yang
jadi pengikutnya, Nabi Zakaria ‘gagal’ karena beliau dibunuh oleh kaum yang
didakwahinya, keluarga Yasir juga bisa dikatakan ‘gagal’ karena keislaman
mereka berujung pada pembantaian oleh kafir quraisy. Namun mereka berhasil
menginspirasi da’i setelahnya untuk tetap giat berjuang mentauhidkan Allah.
Sekali lagi tugas
kita adalah beramal, mastatho’tum (At-Thaghoobun: 16) urusan hasil biarlah
menjadi hak peogratif Allah. Kerena ketika kita disibukkan dengan amal itulah
makna keberhasilan sejatinya. Kapan dan di mana kemenagan itu Allah berikan
terkadang tidak kita perkirakan sebelumnya. Yang pasti dan harus diyakini kemenangan
hanya Allah berikan untuk orang-orang yang berusaha, bukan sebaliknya. Tiap usaha
fitrah menemui kegagalan. Tapi kegagalan sebenarnya adalah ketika kita tidak
beramal sama sekali (Ust. Abdullah Haidir L.C)
Maka sekarang
kita harus berhenti jika hanya terfokus pada kritisi dan saling melemahkan. Tugas
kita untuk memotivasi dan saling menyemangati. Jangan biarkan langkah kaki
terhenti hanya karena kritik-kritik tak bertujuan. Tegar seperti syair nasyid “Bingkai
Kehidupan”. Tetaplah menyongsong visi. Biar Allah sebagai saksi atas amal yang
kita lakukan karena-Nya, bi idznillah.