Kamis, 18 April 2013


Di Arena Ini Kita Mesti Senantiasa Menata

            Tulisan ini terinspirasi dari sebuah kutipan taujih yang pernah disampaikan Ustadz Hilmi Aminuddin “Kun kitaban mufidan illa inwaanan walaa kun inwaanan mufidan illa kitaban (Lebih baik menjadi buku tanpa judul dibanding hanya menjadi judul tanpa ada bukunya)”. Singkat dan mengena. Kata-kata ini menuntun bagaimana mestinya seorang da’i bekerja. Setidaknya ada beberapa poin yang dapat kita petik hikmahnya dari pepatah arab yang beliau sampaikan. Secara eksplisit, pertama seorang da’i janganlah seperti judul tanpa buku, kedua lebih baik menjadi  buku yang tanpa judul. Lebih dalam lagi secara implisit pesan ketiga yang dapat kita tangkap adalah bagaimana seorang da’i mampu menjadi buku yang berisi dan juga memilki judul. Ketiganya adalah pilihan.
            Pertama, jangan menjadi judul tanpa ada bukunya. Jangan mau menjadi orang yang diamanahkan jabatan tanpa ada kerja-kerja nyata yang bisa kita hasilkan. Jangan pula terlalu silap akan jabatan-jabatan keduniaan (hamasah manshabiyah). Mengejar-ngejar jabatan organisasi, akademik, pekerjaan, dll tanpa memikirkan tanggung jawab lebih akan amanah-amanah tersebut. Ini membuat seorang da’i menjadi salah orientasi, yang dikedepankan hanya jabatan bukan amalan. Mungkin inilah yang sering kita rasakan sekarang, hidup bersama orang-orang yang punya gelar/jabatan keduniawian tetapi belum sama sekali merasakan apa yang mereka berikan untuk kemaslahatan umat.
            Kedua, lebih baik menjadi buku yang tanpa judul. Kondisi ini adalah pilihan yang setingkat lebih baik. Menjadi jundi yang mungkin kecil di mata manusia tetapi begitu besar di mata Allah. Bisa jadi, karena fitrahnya manusia lebih susah memposisikan diri sebagai ‘bawahan’ dibanding menjadi ‘pimpinan’. Dan begitu luar biasa seorang jundi yang teguh memegang prinsip ‘pasir dalam sebuah bangunan’ tak terlihat tapi realisasi kerjanya begitu memikat. Dalam posisi inilah keikhlasan kita sangat diuji, bekerja optimal hanya untuk Allah, bukan karena besarnya ‘jabatan’ dalam amanah yang kita emban. Kisah-kisah heroik di zaman sahabat pun mungkin sudah familiar kita dengar, betapa tidak tergiurnya mereka dengan jabatan. Pangkat sama sekali tidak mengubah sedikitpun semangat juang yang ada, tetap sama di mana pun mereka ditempatkan.
            Ketiga, menjadi buku yang memilki isi dan judul yang baik. Kenapa tidak kita memimpikan posisi ini? Karena sesungguhnya amanah adalah sarana yang Allah berikan untuk kita agar punya ladang lebih dalam menggarap pahala. Maka bercita-citalah menjadi pemimpin yang amanah, itu satu dari pelbagai washilah kita untuk memburu surga-Nya. Do’akanlah agar siapa pun yang sekarang dipercaya sebagai qiyadah, dapat mengemban amanah dengan sebaik-baiknya. Tiap kita hakikatnya adalah pemimpin.
            Terlepas dari itu semua yang sebenarnya ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah di mana pun saat ini kita berada; atasan atau pimpinan, nampak maupun tersembunyi, penuh sorotan atau sunyi sekalipun yang terpenting adalah ikhtiar kita untuk senantiasa menata. Menjalaninya dengan segenap keikhlasan. Karena dalam “arena ini” sang pemenang adalah dia yang menjadi sebaik-baik penata. Dia yang senantiasa berada dalam tataan yang benar. Benar dalam niat, ucapan dan perilaku. Sungguh seperti halnya kebaikan, amanah pun begitu. Tak ada ukuran besar atau kecil dalam parameter sebuah amanah. Ia layaknya kalkulasi sedekah, yang terbaik adalah apa yang kita beri (amal/kerja nyata) bukan yang kita dapati (jabatan/amanah).
            Dalam perjalanan nanti pasti akan kita temui. Soal penempatan amanah yang berakhir pada friksi, dan begitu sensitif untuk ditindaklanjuti. Maka kembalilah menyemangati diri untuk menata tak henti. Buka sejarah dan belajarlah dari kisah-kisah sahabat yang heroik. Kisah Said Bin Zayd yang menolak ketika diamanahi sebagai Gubernur Hims oleh Umar Bin Khattab. Sampai membuat Umar bermuka masam dan sempat mengeluarkan perkataan yang tegas, setelah itu barulah Said menerimanya. Ini masalah kebeningan hati. Bagaimana mereka, para sahabat tahu benar memahami kemurnian posisi.
            Kita juga familiar dengan kisah penurunan jabatan Khalid Bin Walid sebagai panglima perang oleh Umar Bin Kahttab setelah memperoleh kemenangan di Yarmuk. Dengan kematangan hati walau penuh dilema ia tak merubah arah, jihadnya untuk Allah bukan karena Umar. Maka di mana pun tempatnya, asal dapat meninggikan kalimat Allah baginya tak jadi masalah. Terbukti sebagai prajurit pun ia tetap menghantarkan kemenangan-kemenagan bagi pasukan muslim kala itu. Benarlah, paham orientasi jelas menghantar kita pada ketentraman hati. Tak gusar.
            Sepenggal kisah-kisah heroik tersebut makin menegaskan betapa pentingnya semangat untuk terus berjuang (hamasah jundiyah), bukan semangat mengejar-ngejar jabatan (hamasah manshabiyah). Karena untuk orang-orang yang merindu ketsabatan di ‘arena’ ini bersiaplah ditempatkan di mana saja, yang terpenting adalah senantiasa menata diri, menata hati. Allah melihat jiddiyah, bagaimana kita menseriusi dan mengoptimalkan sebuah amanah. Dengannyalah di mata-Nya kita menjadi mulia, biasa saja atau malah terhina. Wallahu ‘alam.
Pertengahan masa amanah Nadwah
1433 Hijriah