Di Arena Ini Kita Mesti Senantiasa
Menata
Tulisan ini terinspirasi dari sebuah
kutipan taujih yang pernah disampaikan Ustadz Hilmi Aminuddin “Kun kitaban mufidan illa inwaanan walaa kun
inwaanan mufidan illa kitaban (Lebih
baik menjadi buku tanpa judul dibanding hanya menjadi judul tanpa ada bukunya)”.
Singkat dan mengena. Kata-kata ini menuntun bagaimana mestinya seorang da’i
bekerja. Setidaknya ada beberapa poin yang dapat kita petik hikmahnya dari
pepatah arab yang beliau sampaikan. Secara eksplisit, pertama seorang da’i janganlah
seperti judul tanpa buku, kedua lebih baik menjadi buku yang tanpa judul. Lebih dalam lagi secara
implisit pesan ketiga yang dapat kita tangkap adalah bagaimana seorang da’i mampu
menjadi buku yang berisi dan juga memilki judul. Ketiganya adalah pilihan.
Pertama, jangan menjadi judul tanpa
ada bukunya. Jangan mau menjadi orang yang diamanahkan jabatan tanpa ada
kerja-kerja nyata yang bisa kita hasilkan. Jangan pula terlalu silap akan
jabatan-jabatan keduniaan (hamasah
manshabiyah). Mengejar-ngejar jabatan organisasi, akademik, pekerjaan, dll
tanpa memikirkan tanggung jawab lebih akan amanah-amanah tersebut. Ini membuat
seorang da’i menjadi salah orientasi, yang dikedepankan hanya jabatan bukan
amalan. Mungkin inilah yang sering kita rasakan sekarang, hidup bersama
orang-orang yang punya gelar/jabatan keduniawian tetapi belum sama sekali
merasakan apa yang mereka berikan untuk kemaslahatan umat.
Kedua, lebih baik menjadi buku yang
tanpa judul. Kondisi ini adalah pilihan yang setingkat lebih baik. Menjadi
jundi yang mungkin kecil di mata manusia tetapi begitu besar di mata Allah. Bisa
jadi, karena fitrahnya manusia lebih susah memposisikan diri sebagai ‘bawahan’
dibanding menjadi ‘pimpinan’. Dan begitu luar biasa seorang jundi yang teguh
memegang prinsip ‘pasir dalam sebuah bangunan’ tak terlihat tapi realisasi
kerjanya begitu memikat. Dalam posisi inilah keikhlasan kita sangat diuji,
bekerja optimal hanya untuk Allah, bukan karena besarnya ‘jabatan’ dalam amanah
yang kita emban. Kisah-kisah heroik di zaman sahabat pun mungkin sudah familiar
kita dengar, betapa tidak tergiurnya mereka dengan jabatan. Pangkat sama sekali
tidak mengubah sedikitpun semangat juang yang ada, tetap sama di mana pun
mereka ditempatkan.
Ketiga, menjadi buku yang memilki
isi dan judul yang baik. Kenapa tidak kita memimpikan posisi ini? Karena
sesungguhnya amanah adalah sarana yang Allah berikan untuk kita agar punya
ladang lebih dalam menggarap pahala. Maka bercita-citalah menjadi pemimpin yang
amanah, itu satu dari pelbagai washilah kita untuk memburu surga-Nya. Do’akanlah
agar siapa pun yang sekarang dipercaya sebagai qiyadah, dapat mengemban
amanah dengan sebaik-baiknya. Tiap kita hakikatnya adalah pemimpin.
Terlepas dari itu semua yang
sebenarnya ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah di mana pun saat ini kita
berada; atasan atau pimpinan, nampak maupun tersembunyi, penuh sorotan atau
sunyi sekalipun yang terpenting adalah ikhtiar kita untuk senantiasa menata.
Menjalaninya dengan segenap keikhlasan. Karena dalam “arena ini” sang pemenang
adalah dia yang menjadi sebaik-baik penata. Dia yang senantiasa berada dalam
tataan yang benar. Benar dalam niat, ucapan dan perilaku. Sungguh seperti
halnya kebaikan, amanah pun begitu. Tak ada ukuran besar atau kecil dalam
parameter sebuah amanah. Ia layaknya kalkulasi sedekah, yang terbaik adalah apa
yang kita beri (amal/kerja nyata) bukan yang kita dapati (jabatan/amanah).
Dalam perjalanan nanti pasti akan
kita temui. Soal penempatan amanah yang berakhir pada friksi, dan begitu
sensitif untuk ditindaklanjuti. Maka kembalilah menyemangati diri untuk menata
tak henti. Buka sejarah dan belajarlah dari kisah-kisah sahabat yang heroik. Kisah
Said Bin Zayd yang menolak ketika diamanahi sebagai Gubernur Hims oleh Umar Bin
Khattab. Sampai membuat Umar bermuka masam dan sempat mengeluarkan perkataan
yang tegas, setelah itu barulah Said menerimanya. Ini masalah kebeningan hati. Bagaimana
mereka, para sahabat tahu benar memahami kemurnian posisi.
Kita juga familiar dengan kisah
penurunan jabatan Khalid Bin Walid sebagai panglima perang oleh Umar Bin Kahttab setelah memperoleh kemenangan di Yarmuk. Dengan kematangan hati walau penuh dilema ia tak merubah arah, jihadnya
untuk Allah bukan karena Umar. Maka di mana pun tempatnya, asal dapat
meninggikan kalimat Allah baginya tak jadi masalah. Terbukti sebagai prajurit
pun ia tetap menghantarkan kemenangan-kemenagan bagi pasukan muslim kala itu. Benarlah, paham
orientasi jelas menghantar kita pada ketentraman hati. Tak gusar.
Sepenggal kisah-kisah heroik
tersebut makin menegaskan betapa pentingnya semangat untuk terus berjuang (hamasah
jundiyah), bukan semangat mengejar-ngejar jabatan (hamasah manshabiyah). Karena
untuk orang-orang yang merindu ketsabatan di ‘arena’ ini bersiaplah ditempatkan
di mana saja, yang terpenting adalah senantiasa menata diri, menata hati. Allah
melihat jiddiyah, bagaimana kita menseriusi dan mengoptimalkan sebuah amanah.
Dengannyalah di mata-Nya kita menjadi mulia, biasa saja atau malah terhina. Wallahu ‘alam.
Pertengahan
masa amanah Nadwah
1433
Hijriah