Menyampaikan
sesuatu yang sifatnya teori ternyata kadang
kala membuat bosan. Dalam kelas, diam. Gambarannya tak jauh-jauh
dari satu orang menjelaskan kemudian
yang lain mendengar. Syukur sekali semuanya mau mendengar, terkadang yang lain
mengantuk lalu tertidur, ada yang bicara pada diri sendiri dan tak lama
kemudian butuh lawan bicara lalu mengajak temannya mengobrol. Tapi yang
terpenting selalu masih ada saja mereka yang membuat bersemangat masuk kelas.
Yang matanya berbinar-binar saat sedang dijelaskan, yang terbukti sekali
menyimak dengan seksama lewat pertanyaan-pertanyaan kritisnya, yang mengangguk
antusias pertanda mulai memahami, yang tak berkedip as a sign mereka memperhatikan (meski hanya 1,2 saja), yang …, dan
yang lain-lain. Terlepas dari itu semua, variasi respon yang mereka tunjukkan
selalu memberi warna.
Pun saat kelas cerpen, yang KD nya mengharuskan
terlebih dahulu mereka faham tentang konsep, dan itu pun sebuah teori. Siap-siap
lagi menerima berbagai respon (ekspresi kejumudan).
Wajar saja sebenarnya, karena yang dikedepankan selalu metode konvensional,
yang itu-itu saja. Sedang mereka butuh suasana berbeda, yang bisa mengakomodir
varian potensi tersembunyi yang dimilki dalam tiap-tiap pribadi..
Saat menjelaskan terhenti pada unsur intrinsik
cerpen karena ada yang bertanya perihal tokoh,penokohan dan watak tokoh.
“Kalau
tokoh berwatak baik disebut protagonist, tokoh berwatak tak baik disebut
antagonis, tokoh figuran yang netral sebutannya tritagonis, lalu bagaimana
dengan tokoh yang awalnya jelek tapi pada akhir cerita ia berubah menjadi
baik?”
Pertanyaan
yang bagus dan ternyata ia jubir untuk teman-temannya.
Seketika
terpikir tokoh insyaf tapi tak ada kategori itu, kemudian kujawab, “Kategorinya
protagonis”. Fokusnya pada akhir cerita dan sifat tokoh yang mau mengakui kesalahan.
Setelah itu tak muncul pertanyaan lagi.
Yang agak rumit bagaimana kalau
pertanyaannya sedikit diubah. Entahlah apakah terlintas dalam pikir mereka.
Bagaimana andai tokoh protagonist yang selalu berperilaku baik, namun di penghujung
ia melakukan kesalahan dan cerita pun berakhir. Apa sebutan untuk tokoh ini?
Lantaskah disebut antagonis karena berfokus pada kesalahannya di akhir cerita?
Ya,
dialah antagonis. Karena dalam cerpen begitu kecil sekup yang bisa kita amati.
Cukup soroti alur cerita yang habis sekali baca. Lalu jawabnya, ia antagonis.
Tepat dan tak melesat.
Akan tetapi itu dalam cerpen. Semua
penjelasan ringkas itu hanya pantas dan berlaku dalam cerpen. Tak sama dengan
dunia nyata yang terdiri dari ribuan bahkan jutaan keping mozaik. Kemudian itu
bisa kita hubungkan dan rangkai agar menjadi sesuatu yang utuh. Tak serupa
dengan cerpen yang tak pernah bersambung. Apalagi jika pada bahasan analisis watak tokoh. Tak adil mewacanakannya.
Lalu jika dalam perjalanan yang
pemainnya adalah Aku, Dia, Kamu, mereka.. Kita bersama. Aku nyaris tak pernah
salah. Aku serupa tokoh protagonist sejati dalam cerpen. Sedang yang lain, tak
tetap. Yang lain manusiawi sekali. Kadang pernah khilaf, lewat tatap sinis,
lisan yang tajam, atau perilaku yang kurang menyenangkan. Dan aku, aku tak
pernah menampakkan itu. Walau tak dipungkiri prasangka hati sering datang
bertubi-tubi. Tapi tetap saja bagi yang lain akulah protagonist dalam perjalanan ini, keyakinanku yang sangat
mengatakan itu.
Selain aku di sini, juga ada Kau,
Dia, dan Mereka. Cukup membahas aku, yang sudah begitu tampak protagonisnya. Tentang
Kau atau Dia atau mereka. Tak peduli siapapun itu, kalian bukan protagonist
sejati. Kalian hanya insan biasa, yang sering kujumpai khilafnya. Entah Kau,
Dia, atau Mereka. Sama saja kupikir. Walaupun kita memulai perjalanan ini
dengan visi yang sama, uraian target terencana, keyakinan membaja, melewati suka
dan duka bersama, kita melandasinya dengan kepercayaan penuh, Tapi, jika di
tengah kayuh kita kemudian kalian melakukan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan
dan kuanggap itu kesalahan. Maafkan, aku anggap kalian salah. Kalian ternyata tokoh antagonis dalam
cerpen. Tak perlu perhitungan dan timbang lain.
Aku lalu melupakan peranan besar yang
telah kalian lakukan dengan ikhlas, yang tak bisa lagi dibalas. Saat yang lain
meninggalkan, nyatanya kalian tetap tegar berjuang. Tapi, Cara pandang itu
seketika berubah karena ketidakpercayaanku atas kelakuan yang kalian buat itu.
Aku yang protagonist ini, tak perlu pusing-pusing mencari alasan mengapa hal
itu dilakukan. Karena bagiku, sekaliber kalian tak perlu ditolerir lagi, tak
butuh. Aku juga tak usah introspeksi diri, toh aku protagonist. Tak pernah
dikritik, selalu didengarkan, pembawa solusi, dan lain-lain. Tak ada yang perlu
dikoreksi kan.
Maka dengan kesalahan kalian yang
tak bisa diukur besar atau kecilnya, menimbulkan kekecewaan yang sangat
membekas. Entahlah, walau ada suara bening mengatakan:
“Jika
mereka tertekan dan tak bisa mengungkap sesuatu padamu, maka kau tak benar”
“Andai
sikapmu menjadi pembatas mereka menyampaikann kebenaran, kau salah”
“Salah
jika menyimpulkan dan tak mencari kebenaran”
“Apalagi
merasa selalu benar, itu jelas kesalahan besar”
Pada akhir perjalanan nanti semua
ingin menjadi protagonist. Menjadi baik dan selalu melakukan kebaikan. Jangan tanya
sampai kapan aku mengecap antagonist pada kalian? Atas khilaf kalian. Aku si
protagonist ini pun tak tahu menjawabnya. Mungkin, saat yang Maha mencipta
menyadarkan alangkah berkah andai menjalani hidup dengan penuh kesadaran..
Sampai Ia menerangkan kebenaran. Bahwa ternyata mungkin aku yang antagonist. Mungkin,
entahlah..
Perjalanan
antara Aku, Kau, Dia, Mereka. Andai kalian pikir ini perlu jeda? Baiklah.
Itu
saja…
***