Kalimat akhir pada cerita itu adalah
“Wajahnya berseri dengan senyuman.”. Tentang cerita beberapa pekan lalu, yang
baru pertama kali kudengar. Begitu haru menyimaknya, jujur menyelinap rasa
bangga dengan sepotong kisah itu. Bangga karena ditakdirkan memiliki nasab yang
sama dengan sosok yang diceritakan. Tepatnya mungkin merasa beruntung.
Nenek yang tiba-tiba menceritakan,
tentang saudara perempuannya. Ia punya banyak kelebihan dan menjadi yang paling
tawadhu dalam keluarga. Masa kecilnya yang pekerja keras, penyabar dan tak
kenal mengeluh dengan kehidupan di pelosok (Dusun) yang serba sulit. Ia juga
begitu ikhlas, saat nenek ‘melangkahinya’ untuk terlebih dahulu menikah, dengan
kondisi dahulu yang pemaklumannya tidak seperti sekarang. Selang 5-6 tahun
setelah itu, barulah ia pun menyusul. Kekaguman pada sosok yang ingin sekali
kulihat wajahnya ini semakin bertambah, saat nenek memberitahukan tentang tutup
usianya. Ia meninggal saat melahirkan anak kedua. Dengan usia kandungan yang
belum genap, saat-saat kritis itu pun masih sempat ia lewati dengan menggendong
anak pertama yang kala itu menangis. Bisa dibayangkan. Sampai akhirnya, ia
menemui husnul khotimah. Bersama satu nyawa lagi yang masih dalam kandungan.
Sepotong tulisan ini tak akan bisa
mewakili seutuhnya tentang segala kebaikannya. Ia meninggal dengan syahid, kondisi
akhir yang selalu menjadi do’a setiap muslim. Harus kutuliskan kembali betapa
aku merasa beruntung menjadi salah satu ‘cucunya’. Menjadi bagian dari
keluarganya, walau tak sempat menatap wajahnya atau setidaknya melihat dirinya
dalam foto. Kisah hampir setengah abad yang lalu ini kemudian menjadi
inspirasi. Bahwa hakikatnya, akhir hidup itu sebanding dengan bagaimana proses
kita melaluinya. Memulai, menjalani, lalu mengakhiri. Dan mungkin yang menjadi
esensi adalah sejauh mana kesiapan kemudian mempersiapkannya.
Malu sekali jika mengingat masa-masa
di mana saat bincang ihwal kematian, yang ada bukan menghayatinya dengan penuh
keinsyafan malah biasa saja kadang tertawa riang seolah tak mengacuhkannya. Tema
yang sangat tak popular. Seolah jauh dari maut, bahkan tak sadar jika setiap
jiwa akan merasainya.
Begitu
pun di setiap waktu, kadang timbul keengganan untuk sekadar mengingat kepastian
itu karena kecintaan terhadap dunia yang kian hari kian bertambah. Memenuhi
relung hati. Karena tanpa meminta persetujuan pun ternyata kesibukan dunia
memang menyita waktu-waktu kita. Seringnya membuat lupa. Mengutip syair
edcoustic “Pagi, siang, malam dunia yang
kutuju.”.
Banyak kesaksian dari orang-orang
terdekat seputar kematian. Tentang kondisi mereka yang hampir dimangsa binatang
buas, nyaris tertabrak mobil, hampir tenggelam, dan sampaian lain yang membuat
mereka kemudian tersadar. Mungkin kita pernah atau nanti juga mengalami hal
serupa. Dengan itu Allah menginginkan agar kita faham antara fana dan kehidupan
kekal punya batas yang amat dekat. Sebegitu dekatnya dengan keseharian yang
selalu menemani.
Kematian akan menghampiri siapa
saja. Tak kenal usia, status sosial, atau gelar keduniawian yang tak kan
mendatangkan maslahat nanti. Kurang lebih itulah yang ditulis almarhumah
Ustadzah Yoyoh Yusroh. Segalanya mesti dipersiapkan, terlebih untuk hal yang
pasti ini, walau tetap akan menjadi rahasia kapan tiba saatnya. Bukan sekadar
untuk ditakuti sebab ketidakberdayaan kita. Karena hidup bukan tentang lama,
tapi bagaimana menggunakannya. Semoga kita selalu mengharapkan, memunajatkan,
merencanakan husnul khotimah. Bi izdnillah…
“Hari telah beranjak
senja. Adakah usia kita juga sama? Sedang merayap senja.. dan kita tidak pernah
tahu batas usia kita?”
(Moh. Faudzhil Adhim)