Melankolis Ramadhan
Tinggal
hitungan jam dan lebih kurang 3 kali adzan fardhu lagi, kemudian kita
insyaAllah dijumpakan dengan Ramadhan. Bulan yang dikonstruksi hanya dengan 8
huruf tapi makna dan kandungan kebaikan di dalamnnya tak hingga tanpa batas. Saat
pertemuan dengannya kini begitu dekat setelah terasa sekali penantian akan
hadirnya, yang seluruh penduduk bumi dan langit begitu syahdu, bersuka cita
menyambutnya.
Sebenarnya secara fisik Ramadhan
adalah bulan yang sama dengan 11 bulan lain dalam tahun Hijriah. Seperti halnya
hari jumat yang memiliki kesamaan fisik
terhadap 6 hari lain dalam satu Minggu. Yang membedakan adalah pemaknaan
terhadapnya. Pemaknaan itu kemudian bisa disebabkan karena memang Allah lah
yang secara langsung memuliakan waktu itu dan atau ada histori (momentum mulia)
yang terdapat di dalamnya. Dan Ramadhan mencakup kedua alasan tersebut. Dengan jelasnya Allah
firmankan dalam Al-Qur’an berpuasa pada bulan ini adalah syarat seorang muslim
digelar derajat taqwa. Nama lain Ramadhan adalah Syahrul qur’an karena nuzulnya
pada bulan ini, tepat malam 17 Ramadhan. Sama halnya dengan 3 kitabullah,
Taurat, Zabur dan Injil. **
Dengan kesempurnaan design Allah
khusus pada bulan Ramdahan malu rasanya kalau meyambutnya ala kadar, sekedar euphoria
tanpa ma’nawiyah mendalam. Ia datang dengan kesempurnaan, mestinya disambut
dengan persiapan yang juga perfecto..
Satu kata pamungkas yang begitu identik dengan pribadi melankolis; ideal à
sempurna. Lebih tepatnya berupaya melakukan ibadah terbaik untuk meniti derajat
mulia. Menjadi begitu ‘idealis’ saat Ramadhan. Berusaha semelankolis mungkin;
pra, saat, dan pasca Ramadhan. Artinya untuk yang sama sekali bukan si
melankolis, kita akan berubah untuk menyesuaikan kondisi dengan Ramadhan yang
mulia. Mulai dari merapikan dan menyusun semua ‘anshitoh Ramadhan’ secara detil
dan terperinci, merunut capaian perhari, tiap malam memuhasabah diri, sampai
menghitung-hitung dan mengkomparasi amal apa yang lebih utama untuk kita
lakukan dalam tiap detiknya. Terkadang pribadi melankolis dijuluk orang yang
begitu lama berkecamuk dalam kompromi terhadap diri dan banyak sekali poin-poin
yang mesti dipikirkan. Itu umumnya, tapi berjumpa Ramadhan kita memang harus
banyak berpikir, bertafakkur, yang beruntung adalah ia yang paling ma’rifat
dengan Ramadhan. Menjalaninya berbekal ilmu.
Lekat sekali dengan cerita seorang
pedagang makanan di Pulau Jawa yang teramat cinta pada Ramadhan. Dalam kamusnya,
hanya ada 11 bulan untuk bekerja mencari ma’isyah. Khusus Ramadhan, tutup toko dan
fokus berkhusyuk dalam ibadah. Karyawannya tetap diberi tunjangan agar tak
kehilangan penghasilan. Pemikiran tingkat tinggi yang begitu percaya dengan
kuasa-Nya. Ada lagi kisah seorang ummahat yang sengaja tak disebut namanya. Ada
kebiasaan unik, khas. Ia sekeluarga sepakat bahwa tak ada waktu mencuci piring
selama Ramadhan. Mereka terbiasa membeli makanan siap saji, kalaupun memasak
itu sesekali dan memang terdesak. Tiap detik adalah ibadah dan ibadah. Bukan berarti
keluarga ini tak pandai memanajemen waktu. Ilmu dan perhitungan kalkulasi
ibadah lah yang membuat mereka berbeda.
Menjadi yang melankolis juga berarti
memikirkan segala urusan. Bukan hanya bagaimana kisah kita di bulan Ramadhan. Tapi
seperti apa kondisi ia, mereka, saudara-saudara kita dalam menyambutnya. Di
Indonesia, dari Sabang sampaii Marauke, terutama Aceh yang baru-baru ini diuji bencana.
Belahan bumi lain, saudara seiman di seluruh penjuru dunia. Semoga keberkahan
berlipat-lipat teruntuk mereka yang lebih dulu berjihad dibanding kita. Palestina,
Suriah, Mesir, Tunisia, saudara muslim di mana pun ia berada. Do’anya adalah
semoga makin dikuatkan, diberi ketancapan azzam, disegerakan pertolongan, insyaAllah akan ada berjuta
kisah indah, bahagia, berlimpah pahala, full barokah di Ramadhan kali ini untuk
mereka… Munajat kita adalah tak sekedar untuk kebaikan diri pribadi, tapi
selalu menyelipkan do’a special untuk mereka karena Allah begitu cepat
mengijabah do’a, terkhusus di bulan ini.. Kemudian tega sekali kita dengan
segala kemikmatan yang ada nantinya melewatkan Ramadhan dengan sia-sia. Jangan selalu
mau tertinggal, tertinggal jauh dari mereka yang selalu mulia dengan segala
keterbatasan
Berjumpa Ramadhan kita punya misi
yang sama, 30 hari mencari cinta. Merebut hati-Nya, mencari cinta-Nya, menjadi
yang paling dikasihi-Nya. Lewat cara yang berbeda-beda. Mari menginspirasi diri
sendiri agar tak kenal kata letih. Karena bulan ini hanya ada pembuktian cinta.
Berjurus melankolis, senyuman dan ibadah yang optimal..