Goresan kali ini sekedar
mengumpulkan kepingan kecil yang terserak. Agar tak hilang tercampur sia. Rona
beberapa hari lalu terasa agak tak biasa. Saat dalam perjalanan tak sengaja
menangkapnya. Pada Ibu paruh baya, yang semenjak awal menatap matanya, tertaruh
rasa curiga. Curiga padanya yang menurutku begitu tak lazim disenyum ramah oleh
hampir tiap petugas angkutan kota hari itu. Curiga padanya saat ia dengan mudah
diberi keistimewaan tak typing (tanpa
biaya) saat bergabung naik angkutan dengan kami. kecurigaan itu bertambah saat
Ia ingin membeli saldo pada smart cardnya tapi petugas tak mengizinkan, malah memintanya
langsung transit tanpa typing (lagi). Kembali curiga padanya saat ia menyapa
dengan senyum ramah padaku. Dasar aku selalu curiga..
“Ada pecahan 50rb nak?” Kalimat
pertama yang kudengar lewat lisannya. Telah selesai kujawab, walau masih samar
setidaknya aku tahu kurang lebih siapa ibu ini.. Ialah wanita yang hafal jam
berapa keberangkatan awal dan kapan waktu-waktu bus yang kami tumpangi ini beroperasi.
Ia selalu berangkat dari rumah pagi-pagi sekali. Anyaman sangkek yang terpegang
erat ditangannya seolah menjadi saksi perjuangan ibu ini. Pulang-pergi, pagi-malam
hari, dari sana ke sini.
Dan ketika bus jurusan kami
menghampiri, sengaja kupilih duduk tepat di sampingnya. Entah, kali ini bukan
karena aku masih curiga. Seperti magnet saja, aku mengejar rona. Ibu itu pun
mulai bercerita perihal rutinitasnya. Kemudian tentang bumbu, bahan makanan,
resep memasak dan lain sebagainya. Dalam hati aku makin percaya keputusan yang
tepat jika ia telah memilih membuka warung nasi sebagai pencaharian utama. Walau
terkategori jauh jarak yang harus ditempuh ibu ini, tepatnya halte pemberhentian
ujung di perbatasan kota. Tapi dengan jelas guratan di wajahnya menegaskan itu tak
masalah. Dia juga menceritakan tentang sopir dan kondektur yang menjadi
langganan masakannya, yang kadang-kadang menghutang pulsa. Manusiawi, wajar
petugas bus ini banyak yang kenal dengannya.
Sambil tetap tersenyum, lisannya
begitu fasih melanjutkan cerita. Tentang shalat jamak-qoshor yang ‘terpaksa’
dilakukan karena sibuknya melayani pembeli. Karena tak sanggup menggaji pegawai
jadilah ia sendiri. Tersebab itu ia pun mengandalkan kejujuran pembeli saat
membayar makanan. Karena akan melelahkan sekali jika tiap meja harus diawasnya
satu persatu. Jalan mulai ramai kala itu, musik yang diputar berkolaborasi
dengan bunyi mesin mobil yang dipacu kecepatan tinggi membuat suara Ibu itu pun
jadi tak jelas. Dan aku mulai memberi respon monoton, tersenyum lalu mengangguk
antusias.
“Masih kuliah atau kerja?”,
pertanyaannya kali ini seakan menuntut giliran, meminta aku yang berbicara. Mungkin
karena ekspresiku yang begitu-begitu akhirnya ia balik bertanya. Demi merespon
ulang jawabanku, rona itu semakin terpancar. Bagaimana pengetahuan yang ia bagi
ihwal parenting. Nasihatnya seputar psikologi remaja. Tentang kesungguhan dan
kesabaran bekerja juga tak luput tersampai dari lisannya. Kontekstual sekali
ibu, seperti ahli. Bahkan mungkin kaulah sesungguhnya yang berilmu. Padahal hari-harimu
berkutat di bus dan warung nasi yang mesti selalu dijaga. Beberapa cerita perih
yang ia sampaikan di ujung pertemuan makin menjadikannya rona. Yang kutangkap
singkat tapi banyak menebar hikmah..
*******
Begitulah.
Kadang kita masih tak syukur diketengahkan pada pilihan yang begitu banyak,
sedang di luar sana mereka cenderung terbatas pilihan dalam memutuskan.
Beruntungnya
menjadi orang yang tak selalu bincang agama, tapi diri selalu mendapat tausiyah
darinya walau tak terlisan.
Dan
seputar rona. Tangkap dan maknai ia sedalam-dalamnya. Betapa penting. Merasakan
sendiri bagaimana langsung jatuh hati pada orang yang baru pertama kali
ditemui. Semoga keberkahan-Nya selalu mengiring, menjaga dan menemani.
Untuk
ia yang disebut rona