Rabu, 30 Januari 2013

Cukup Salahkan Murobbi


Gunung-gunung bertasbih
Memohon ampun bagimu
………………………….
Cahaya murobbi
Pancar nurun ‘ala nur ilahi

            Halaqoh sarana terhebat yang menyokong kuat cipta peradaban. Banyak tawa, mesra, canda, suka, cita besar di sana. Tak banyak yang dapat menikmatinya dengan mudah, coba saja sedikit memflashback ke awal tumbuh-kembang perjuangan dakwah, pelbagai cerita haru tercampur lucu yang begitu sering disampaikan oleh masaikh-masaikh dakwah menyangkut tadhiyah mereka, mulai dari secara sembunyi-sembunyi sampai yang ekstrim dicurigai/dibawa ke aparat polisi. Itu semua terdorong karena ghiroh, semangat melingkar, menghirup ruh-ruh prima yang menyokong cita mulia. Peradaban, semangat perbaikan.
            Realiastis, itu tak akan kita hadapi lagi sekarang. Cerita itu kholash menjadi trigger dalam fase-fase dakwah yang mutlak dilalui. Tinggal lagi, bersiaplah dengan konsekuensi logis di depan mata. Tak dipungkiri segala kemudahan dan keleluasaan yang ada itulah kemudian yang menjadi ujian du’at saat ini. Banyak yang syak wasangka, menganggap halaqoh tak lagi menjadi sarana yang penuh akan nilai-nilai gizi dalam dakwah karena yang berpikir sarana ini hanya untuk mentransfer tsaqofah akan memilih cara yang lebih instan dan mudah. Dengan berbagai dalih, suasana yang monoton, jumud, tak bergairah, dan murobbilah yang kemudian menjadi sasaran akhir yang harus bertanggung jawab terhadap capaian-capaian yang begitu dangkal menimbulkan kekecewaan dalam diri kita, mereka. Murobbi yang kurang peka, tidak sensitif, kurang senyum, tak inisiatif, unresponsible dan masih banyak lagi dzhon yang dihadirkan guna menegaskan bahwa Murobbi Kita TIDAK IDEAL.
            Tak jarang hal-hal serupa terlisan dan didengungkan. Mari kita merefleksi diri secara perlahan, detil dan mendalam. Hadir kan sosok murobbi/yah, dan kemudian dengan lantang Tegaskan! Ya, benar. Kita patut dan memang pantas satu suara untuk “Cukup dengan Meyalahkan Murobbi” guna mencari solusi dalam dilema masalah ini. Ya, cukup salahkan saja murobbi.
            Cukup salahkan Murobbi yang selalu tak peka terhadap permasalahanmu dan mad’unya yang lain. Cukup salahkan saja ia karena kau adalah salah satu mutarobbi yang paling tahu tentang kondisi murobbimu. Kapan saat ia lelah, bahagia, bersuka bahkan kau sangat faham dan familiar dengan ekspresinya kala ia gundah, banyak masalah, dan sedang begitu susah. Kau juga lah yang paling utama rutin menanyakan bagaimana kabarnya, wajar saja jika kau kesal sesekali ia lupa menyapa hangat dirimu karena waktunya yang terbatas untuk bergegas menjawab seruan agenda dakwah lainnya.
            Ketika Murobbi-mu tak pandai beretorika, tak komunikatif, metodenya konvensional, dan materi yang disampaikan menurutmu selalu diulang-ulang bahkan sangat tak kontekstual. Yakinlah untuk menyalahkan ia. Kenapa tidak? Engkaulah yang paling kuat azzamnya untuk menghadiri halaqoh semenjak kau pertama kali menjadi binaannya. Kau selalu menghadirinya dengan persiapan prima dan begitu yakin berniat ikhlas karena-Nya. Ketika mendapat materi kebiasaanmu adalah mendengar dengan khusyu’ dan begitu tawadhu, tak pernah bicara kala ia sedang berkata. Taujihnya tak alpa kau aplikasikan dengan lapang dada dan penuh keikhlasan.
            Jika Murobbimu punya kebiasaan datang sering tak tepat waktu. Benarkanlah dirimu jika mulai merasa ada yang salah dalam dirinya. Kau selalu hadir sepuluh menit sebelum agenda dimulai. Dirimu tercatat sebagai mutarobbi yang begitu indibath terhadap waktu. Sepadat apa pun agendamu, halaqoh lah yang tak henti kau prioritaskan. Kau sungguh tak pernah datang dengan waktu-waktu sisa selalu menghadirinya dengan penuh persiapan. Tiap detik-detik halaqoh menimbulkan kesan mendalam dan menjadi saat-saat yang begitu kau rindukan. Kau tak pernah sedikitpun menyia-nyiakannya.
            Sedihlah pada murobbimu, jika tilawahnya kurang tartil dan tak begitu merdu, apalagi hafalannya masih pada juz 30. Sedih karena menurutmu ia tak punya waktu untuk memperbaiki itu. Sedangkan kau dan teman-teman punya hafalan hampir sepertiga juz dalam Al-Qur’an. Bacaan kalian pun begitu syahdu dan menggetarkan. Ketika membacanya, kau selalu tak merasa lebih baik dari dari yang lain. Begitu tajarrudnya dirimu, selalu punya waktu khusus untuk menghafal kalam-Nya, kemudian dimuroja’ah sampai yakin benar hukum bacaannya. Kau begitu cinta dan dekat dengan Al-Qur’an. Sungguh mengesankan.
            Benar, cukup dengan menyalahkan murobbimu. Saat ia selalu menuai khilaf di mata-mu sedang kau adalah sosok mutarobbi ideal tanpa cacat yang menggores. Wajar ketika kau belum menemukan dahsyatnya keajaiban lingkaran yang tak kan tergambar dengan kata, karena yang kau tuntut adalah kesempurnaan tanpa proses, kau bahkan tak memahami makna sebuah pembelajaran, indahnya sebuah rasa pengertian tanpa tuntutan, bahagianya menikmati tiap perguliran untuk bersama mencapai sebuah usaha menggapai kesempurnaan dari yang Maha Sempurna.
            Sekarang, mari lihat lagi siapa dirimu dan bayangkan lekat-lekat wajahnya. Wajah yang seluruh langit dan bumi selalu bertasbih karena tsabatnya ia mentarbiyahmu dan yang lainnya. Ia punya wajah yang teduh dan tak pernah mau menyusahkanmu, begitu besar jasanya padamu dan Allah pun sangat menyayanginya. Sesungguhnya ia juga manusia, ingatkan dengan ahsan dan ihtirom terhadap khilaf-khilaf kecilnya. Seperti ia yang selalu menasihatimu dengan begitu haru. Ia murobbimu: gurumu, orangtuamu, sahabatmu, saudaramu, dengan segala perannya yang tak kenal pamrih padamu. Tak pantas untuk sedikitpun mneyalahkannya atas selisih ruang antara harap dan realita yang begitu dangkal kau terjemahkan. Sekarang tegaslah berkata! Berhenti dan cukup untuk menyalahkan murobbi kita, sangat tak pantas rasanya. Dari tiap murobbi banyak kita dapatkan pelajaran. Yang terpenting adalah fokus terhadap dirimu, berusahalah terus memperbaiki diri dan tak kenal lelah menjadi mutarobbi terbaik. Dengan seizin-Nya akan kau dapati kondisi ideal itu. Murobbi dan halaqoh yang sangat dirindukan…

Minggu, 27 Januari 2013


Terlintas ingin dalam do’a
Dengan seizing-Nya suatu saat ku bisa menginjak kaki di sana
Tanah yang lebih dulu futuh,
Walau tak sedikit pula goresan kelam yang selalu menghantu

Sebuah cita yang kadang begitu naïf untuk dimunculkan
Hingga yang ada hanya asa dan ketakutan berusaha
Selalu membayangi,
Tak alpa mengikuti
Saat coba  meyakinka diri ini
Bahwa ada yang pasti

Perlahan kutoleh ke belakang
Begitu memikat andai ditinggalkan
Ada berjuta sinar warna-warni
Tak sampai hati mengacuhkannya
Aku ingin cahaya itu padu
Bersinergi menjadi satu

Juga tak henti menanti inginnya pelangi
Walau enggan melekat
Terik tetap bertahan
Harapku hujan pasti menyirami
Entah hitungan  bulan, tahun, tak ku peduli

Yang pasti kan hadir janji suci
Penyejuk lara
Pelipur hati
Hingga langkah ini mantap
Hati kan jernih
Suatu saat nanti

Sabtu, 19 Januari 2013

halaman persembahan



Skripsi ini kupersembahkan terkhusus
v  Kedua matahariku, Bapak dan Mamak.Terima kasih atas munajat tak henti yang diberikan
v  Saudaraku (Vera Victoria, Rosa Sukasa, Carolina Fortina, Tiara Sonia) bintang-bintang terang yang makin neenyinari dalam tiap mozaik hidupku
v  Mb, teman-teman, adik-adik di Great Circle dan Lingkar-lingkar kecil tempat aku memaknai kehidupan, university of life
v  Ibu Hj Sri Inderawati dan Pak Ansori, terima kasih atas biimbingannya
Seluruh Dosen dan Staff Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia
v  Teman-teman seperjuangan di De Rumput, Barokah FKIP Unsri, Nadwah Unsri, Foramus 10, IRMAJ Jaatsiyah yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Jazakillah khoir semangat dan motivasinya. Banyak hal-hal berkesan yang kadang tak tersampai dengan lisan dan tulisan.
v  Teman-teman angkatan 2008 Pendidikan Bahasa Indonesia (Binders)
v  Almamaterku

Motto:
“Pijakkanlah hidup pada keyakinan, Yakin hanya pada yang kuasa atas keyakinan. Derap akan menjadi ringan dan mantap di tiap langkah, kita akan sampai pada waktu dan tempat yang tepat sesuai cita.
Hanya dengan keyakinan, yakin dan semakin yakinlah.”

“Dan( ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya’ “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sampai ke pertemuan dua laut, atau aku akan berjalan (terus sampai) bertahun-tahun”
(Q.S Al-Kahfi: 60)