Gunung-gunung bertasbih
Memohon ampun bagimu
………………………….
Cahaya murobbi
Pancar nurun ‘ala nur ilahi
Halaqoh sarana terhebat yang
menyokong kuat cipta peradaban. Banyak tawa, mesra, canda, suka, cita besar di sana.
Tak banyak yang dapat menikmatinya dengan mudah, coba saja sedikit memflashback ke awal tumbuh-kembang
perjuangan dakwah, pelbagai cerita haru tercampur lucu yang begitu sering
disampaikan oleh masaikh-masaikh
dakwah menyangkut tadhiyah mereka,
mulai dari secara sembunyi-sembunyi sampai yang ekstrim dicurigai/dibawa ke
aparat polisi. Itu semua terdorong karena ghiroh,
semangat melingkar, menghirup ruh-ruh prima yang menyokong cita mulia.
Peradaban, semangat perbaikan.
Realiastis, itu tak akan kita hadapi
lagi sekarang. Cerita itu kholash
menjadi trigger dalam fase-fase
dakwah yang mutlak dilalui. Tinggal lagi, bersiaplah dengan konsekuensi logis
di depan mata. Tak dipungkiri segala kemudahan dan keleluasaan yang ada itulah
kemudian yang menjadi ujian du’at
saat ini. Banyak yang syak wasangka, menganggap halaqoh tak lagi menjadi sarana
yang penuh akan nilai-nilai gizi dalam dakwah karena yang berpikir sarana ini
hanya untuk mentransfer tsaqofah akan memilih cara yang lebih instan dan mudah.
Dengan berbagai dalih, suasana yang monoton, jumud, tak bergairah, dan murobbilah yang kemudian menjadi sasaran
akhir yang harus bertanggung jawab terhadap capaian-capaian yang begitu dangkal
menimbulkan kekecewaan dalam diri kita, mereka. Murobbi yang kurang peka, tidak
sensitif, kurang senyum, tak inisiatif, unresponsible
dan masih banyak lagi dzhon yang
dihadirkan guna menegaskan bahwa Murobbi Kita TIDAK IDEAL.
Tak jarang hal-hal serupa terlisan
dan didengungkan. Mari kita merefleksi diri secara perlahan, detil dan
mendalam. Hadir kan sosok murobbi/yah, dan kemudian dengan lantang Tegaskan!
Ya, benar. Kita patut dan memang pantas satu suara untuk “Cukup dengan
Meyalahkan Murobbi” guna mencari solusi dalam dilema masalah ini. Ya, cukup
salahkan saja murobbi.
Cukup salahkan Murobbi yang selalu
tak peka terhadap permasalahanmu dan mad’unya yang lain. Cukup salahkan saja ia
karena kau adalah salah satu mutarobbi yang paling tahu tentang kondisi
murobbimu. Kapan saat ia lelah, bahagia, bersuka bahkan kau sangat faham dan familiar dengan ekspresinya kala ia
gundah, banyak masalah, dan sedang begitu susah. Kau juga lah yang paling utama
rutin menanyakan bagaimana kabarnya, wajar saja jika kau kesal sesekali ia lupa
menyapa hangat dirimu karena waktunya yang terbatas untuk bergegas menjawab
seruan agenda dakwah lainnya.
Ketika Murobbi-mu tak pandai
beretorika, tak komunikatif, metodenya konvensional, dan materi yang
disampaikan menurutmu selalu diulang-ulang bahkan sangat tak kontekstual. Yakinlah
untuk menyalahkan ia. Kenapa tidak? Engkaulah yang paling kuat azzamnya untuk
menghadiri halaqoh semenjak kau pertama kali menjadi binaannya. Kau selalu
menghadirinya dengan persiapan prima dan begitu yakin berniat ikhlas
karena-Nya. Ketika mendapat materi kebiasaanmu adalah mendengar dengan khusyu’
dan begitu tawadhu, tak pernah bicara kala ia sedang berkata. Taujihnya tak
alpa kau aplikasikan dengan lapang dada dan penuh keikhlasan.
Jika Murobbimu punya kebiasaan
datang sering tak tepat waktu. Benarkanlah dirimu jika mulai merasa ada yang
salah dalam dirinya. Kau selalu hadir sepuluh menit sebelum agenda dimulai. Dirimu
tercatat sebagai mutarobbi yang begitu indibath terhadap waktu. Sepadat apa pun
agendamu, halaqoh lah yang tak henti kau prioritaskan. Kau sungguh tak pernah
datang dengan waktu-waktu sisa selalu menghadirinya dengan penuh persiapan.
Tiap detik-detik halaqoh menimbulkan kesan mendalam dan menjadi saat-saat yang
begitu kau rindukan. Kau tak pernah sedikitpun menyia-nyiakannya.
Sedihlah pada murobbimu, jika
tilawahnya kurang tartil dan tak begitu merdu, apalagi hafalannya masih pada
juz 30. Sedih karena menurutmu ia tak punya waktu untuk memperbaiki itu. Sedangkan
kau dan teman-teman punya hafalan hampir sepertiga juz dalam Al-Qur’an. Bacaan kalian
pun begitu syahdu dan menggetarkan. Ketika membacanya, kau selalu tak merasa
lebih baik dari dari yang lain. Begitu tajarrudnya
dirimu, selalu punya waktu khusus untuk menghafal kalam-Nya, kemudian dimuroja’ah
sampai yakin benar hukum bacaannya. Kau begitu cinta dan dekat dengan Al-Qur’an.
Sungguh mengesankan.
Benar, cukup dengan menyalahkan
murobbimu. Saat ia selalu menuai khilaf di mata-mu sedang kau adalah sosok mutarobbi
ideal tanpa cacat yang menggores. Wajar ketika kau belum menemukan dahsyatnya
keajaiban lingkaran yang tak kan tergambar dengan kata, karena yang kau tuntut
adalah kesempurnaan tanpa proses, kau bahkan tak memahami makna sebuah
pembelajaran, indahnya sebuah rasa pengertian tanpa tuntutan, bahagianya menikmati
tiap perguliran untuk bersama mencapai sebuah usaha menggapai kesempurnaan dari
yang Maha Sempurna.
Sekarang, mari lihat lagi siapa dirimu
dan bayangkan lekat-lekat wajahnya. Wajah yang seluruh langit dan bumi selalu
bertasbih karena tsabatnya ia
mentarbiyahmu dan yang lainnya. Ia punya wajah yang teduh dan tak pernah mau menyusahkanmu,
begitu besar jasanya padamu dan Allah pun sangat menyayanginya. Sesungguhnya ia
juga manusia, ingatkan dengan ahsan dan ihtirom terhadap khilaf-khilaf
kecilnya. Seperti ia yang selalu menasihatimu dengan begitu haru. Ia murobbimu:
gurumu, orangtuamu, sahabatmu, saudaramu, dengan segala perannya yang tak kenal
pamrih padamu. Tak pantas untuk sedikitpun mneyalahkannya atas selisih ruang
antara harap dan realita yang begitu dangkal kau terjemahkan. Sekarang tegaslah
berkata! Berhenti dan cukup untuk
menyalahkan murobbi kita, sangat tak pantas rasanya. Dari tiap murobbi
banyak kita dapatkan pelajaran. Yang terpenting adalah fokus terhadap dirimu, berusahalah
terus memperbaiki diri dan tak kenal lelah menjadi mutarobbi terbaik. Dengan seizin-Nya
akan kau dapati kondisi ideal itu. Murobbi dan halaqoh yang sangat dirindukan…